Bingung jika harus menulis dengan sebuah setting yang harus sosiologis, maka sebagai manusia biasa saya mencoba menuliskan apa yang saya rasakan dan pikirkan dalam sebuah situasi sosial yang menempatkan saya sebagai individu yang kembali belajar tentang hidup. Pulau kecil itu bernama Palmatak, pulau kecil yang susah payah saya cari di berbagai peta Indonesia bahkan dalam peta berlabel “lengkap”. Nasib yang membawa saya sebagai seorang mahasiswa pendidikan sosiologi untuk merasakan sebuah kebudayaan baru, sebuah sketsa sosial yang berbeda dari yang saya miliki. Dengan lokasinya yang memang berada di bagian Utara Indonesia di tengah laut Cina Selatan. Ternyata Tuhan menyimpan hartanya di balik pegunungan di tengah lautan yang luas.
Palmatak menjadi potret kehidupan masyarakat melayu kepulauan di bagian propinsi Kepulauan Riau. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup pada laut, pada luasnya lautan yang mengelilingi lautan. Solidaritas mekanik yang dilahirkan oleh Durkheim masih tumbuh subur di pulau kecil ini. Luas wilayah yang kecil dengan tingkat populasi yang juga sedikit serta tingkat homogenitas dalam struktur yang sederhana membuat kontrol sosial juga sangat amat ketat. Bahkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan membuat saya tercengang…”hah???gak salah neh parkir motor sama kunci-kuncinya digantung???waduh…pintu rumah gak dikunci dah malem kaya gini???ayoklah kite pegi ke dorot (hutan menjadi kebun milik mereka yang disebut darat)…
Setiap hari yang dijalani rasanya tak cukup menggambarkan bagaimana roda kehidupan yang bergerak selalu membuat saya tertegun. Bahkan minimnya sumber listrik justru menjadi pengikat bagi para anggota masyarakat. Panggilan-panggilan akrab khas orang melayu terlontar setiap kali berpapasan…”nak gi kemane, yang????ketak ape keje, singgoh gmah kami lah…ni ade ekan, sedop nak di boko!”…kebiasaan penduduk pulau untuk menyelenggarakan ulang tahun desa (yang disebut “Keramaian”) selama berhari-hari bahkan hingga 1 bulan juga menjadi bukti bagaimana orang melayu menjadi “seniman hidup”. Mereka adalah seniman hidup yang menikmati setiap detik yang ada, bukan sekedar orang melayu dengan stigma malas dan senang duduk di kedai.
Kedai, menjadi sebuah ruang publik dan menjadi sebuah simbol pergaulan bagi kebanyakan orang melayu kepulauan seperti di Palmatak. Simbol ini tercermin dari kegemaran penduduk untuk sekedar menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi dengan tetangga-tetangganya. Kedai menjadi arena untuk melepas lelah dan saling bertukar cerita setelah seharian bekerja. ‘kalau kau pergi ke kedai, sediakan segelas kopi di depan orang melayu. Maka ia akan bertutur banyak hal mulai dari urusan dalam bilik sampai masalah ekonomi global’. Itulah seniman, bagaimana ia mengubah hal kecil menjadi begitu megah. Orang melayu dan kemampuan bertutur (lisan) yang indah menjadi bagian dari gerak kehidupan.
Banyak hari yang saya lewatkan, menenggelamkan diri dalam rutinitas menjadi bagian dari ‘mereka’. Lambat laun, saya mendengar senandung yang sayup-sayup terbawa angin laut. Lirih tapi penuh kepastian dan dengan ketulusan. Saya berpikir, “senandung apakah ini?”. Mencoba mencari asal suara membawa saya ke bangunan sederhana yang belum terbangun sempurna. Bangunan itu menggemakan derap jantung yang berpacu dari banyak jiwa-jiwa yang haus pengetahuan. Tiap ruangnya mengurai jutaan kata yang terajut menjadi sesuatu yang mengisi sel abu-abu yang pada dasarnya tidak kosong. Bangunan itu ‘mereka’ sebut sekolah tempat anak-anak belajar.
Dengan tangan terbuka ‘seniman-seniman’ itu membiarkan saya ikut bersenandung. Memberikan kesempatan saya untuk merasakan bagaimana puluhan pasang mata menatap saya berharap saya berkenan mengurai jutaan materi yang mampu menghilangkan dahaga akan pengetahuan. Saya menjadi seorang ‘guru’, bukan seperti sebelumnya di mana saya menjadi seorang guru. Mulailah saya bersenandung, senandung yang agak sember di awal. Karna saya belum menemukan makna dari senandung yang dilantunkan oleh ‘seniman-seniman’ dari sekolah. Berpuluh-puluh pasang mata yang merangkul saya mengajarkan saya bagaimana bersenandung Pada Mu Negeri. Berpuluh-puluh pasang mata mengajarkan saya betapa saya berguna bagi mereka. Betapa sebagai manusia akan sangat berbahagia jika ia mampu bermanfaat bagi orang lain. Bukan buku-buku hebat, bukan media elektronik, bukan lab-lab lengkap. Tapi seniman-seniman itu yang bersenandung di tengah beragam himpitan keterbatasan yang menopang gerak roda altar pengetahuan.
Kesempatan bagi saya untuk berada di palmatak, menunjukkan banyak hal. Pertama, bagaimana otonomi daerah yang berdampak pula pada desentralisasi pendidikan ternyata tidak membawa kesetaraan. Tetapi justru malah membuat banyak daerah dengan APBD kecil kehilangan kesempatan belajar karena kurang guru. Hanya mereka yang masih mau menyenandungkan Pada Mu negeri yang bertahan di daerah terpencil. Kedua, keterbatasan tenaga pengajar telah membawa pemuda-pemuda lokal untuk mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar. Mereka yang dengan kesadaran penuh akan keterbatasan kemampuan pedagogik dan profesional, larut dalam upaya menopang pendidikan lokal. Tentu saja hal ini berdampak pada kualitas pendidikan. Ketiga, rendahnya sumber daya pengajar dan sarana prasarana berdampak pada kualitas pendidikan lokal. Setiap tahunnya mereka harus bekerja keras untuk mencapai standar nasional dalam Ujian Nasional. Angka kelulusan pun masih amat rendah. Tahun 2009, dari 53 orang siswa SMA jurusan IPA dan IPS hanya 10 orang yang berhasil lulus (3 orang untuk jurusan IPS, dan 7 orang untuk jurusan IPA).
Mungkin ini hanya sedikit dari yang bisa saya bagi dan saya tulis. Banyak hal yang masih ingin saya ceritakan dan saya pertanyakan. Setidaknya ini sedikit pengantar dan pengakuan pribadi tentang bagaimana saya menemukan hakikat diri saya sebagai manusia. Bagaimana saya menjadi begitu hidup ketika ada orang lain yang membutuhkan saya, ketika saya tahu bahwa saya bermanfaat bagi orang lain. Berbahagialah saya yang bertemu ‘seniman-seniman’ penyenandung Pada Mu Negeri dari Pulau Segantang Lada. Bagaimana mereka mengajarkan saya bahwa bukan buku, bukan media elektronik, bukan lab canggih yang mengantarkan anak ke depan altar pengetahuan, tapi ‘guru’ yang membantu anak menemukan jalan.
Palmatak menjadi potret kehidupan masyarakat melayu kepulauan di bagian propinsi Kepulauan Riau. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup pada laut, pada luasnya lautan yang mengelilingi lautan. Solidaritas mekanik yang dilahirkan oleh Durkheim masih tumbuh subur di pulau kecil ini. Luas wilayah yang kecil dengan tingkat populasi yang juga sedikit serta tingkat homogenitas dalam struktur yang sederhana membuat kontrol sosial juga sangat amat ketat. Bahkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan membuat saya tercengang…”hah???gak salah neh parkir motor sama kunci-kuncinya digantung???waduh…pintu rumah gak dikunci dah malem kaya gini???ayoklah kite pegi ke dorot (hutan menjadi kebun milik mereka yang disebut darat)…
Setiap hari yang dijalani rasanya tak cukup menggambarkan bagaimana roda kehidupan yang bergerak selalu membuat saya tertegun. Bahkan minimnya sumber listrik justru menjadi pengikat bagi para anggota masyarakat. Panggilan-panggilan akrab khas orang melayu terlontar setiap kali berpapasan…”nak gi kemane, yang????ketak ape keje, singgoh gmah kami lah…ni ade ekan, sedop nak di boko!”…kebiasaan penduduk pulau untuk menyelenggarakan ulang tahun desa (yang disebut “Keramaian”) selama berhari-hari bahkan hingga 1 bulan juga menjadi bukti bagaimana orang melayu menjadi “seniman hidup”. Mereka adalah seniman hidup yang menikmati setiap detik yang ada, bukan sekedar orang melayu dengan stigma malas dan senang duduk di kedai.
Kedai, menjadi sebuah ruang publik dan menjadi sebuah simbol pergaulan bagi kebanyakan orang melayu kepulauan seperti di Palmatak. Simbol ini tercermin dari kegemaran penduduk untuk sekedar menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi dengan tetangga-tetangganya. Kedai menjadi arena untuk melepas lelah dan saling bertukar cerita setelah seharian bekerja. ‘kalau kau pergi ke kedai, sediakan segelas kopi di depan orang melayu. Maka ia akan bertutur banyak hal mulai dari urusan dalam bilik sampai masalah ekonomi global’. Itulah seniman, bagaimana ia mengubah hal kecil menjadi begitu megah. Orang melayu dan kemampuan bertutur (lisan) yang indah menjadi bagian dari gerak kehidupan.
Banyak hari yang saya lewatkan, menenggelamkan diri dalam rutinitas menjadi bagian dari ‘mereka’. Lambat laun, saya mendengar senandung yang sayup-sayup terbawa angin laut. Lirih tapi penuh kepastian dan dengan ketulusan. Saya berpikir, “senandung apakah ini?”. Mencoba mencari asal suara membawa saya ke bangunan sederhana yang belum terbangun sempurna. Bangunan itu menggemakan derap jantung yang berpacu dari banyak jiwa-jiwa yang haus pengetahuan. Tiap ruangnya mengurai jutaan kata yang terajut menjadi sesuatu yang mengisi sel abu-abu yang pada dasarnya tidak kosong. Bangunan itu ‘mereka’ sebut sekolah tempat anak-anak belajar.
Dengan tangan terbuka ‘seniman-seniman’ itu membiarkan saya ikut bersenandung. Memberikan kesempatan saya untuk merasakan bagaimana puluhan pasang mata menatap saya berharap saya berkenan mengurai jutaan materi yang mampu menghilangkan dahaga akan pengetahuan. Saya menjadi seorang ‘guru’, bukan seperti sebelumnya di mana saya menjadi seorang guru. Mulailah saya bersenandung, senandung yang agak sember di awal. Karna saya belum menemukan makna dari senandung yang dilantunkan oleh ‘seniman-seniman’ dari sekolah. Berpuluh-puluh pasang mata yang merangkul saya mengajarkan saya bagaimana bersenandung Pada Mu Negeri. Berpuluh-puluh pasang mata mengajarkan saya betapa saya berguna bagi mereka. Betapa sebagai manusia akan sangat berbahagia jika ia mampu bermanfaat bagi orang lain. Bukan buku-buku hebat, bukan media elektronik, bukan lab-lab lengkap. Tapi seniman-seniman itu yang bersenandung di tengah beragam himpitan keterbatasan yang menopang gerak roda altar pengetahuan.
Kesempatan bagi saya untuk berada di palmatak, menunjukkan banyak hal. Pertama, bagaimana otonomi daerah yang berdampak pula pada desentralisasi pendidikan ternyata tidak membawa kesetaraan. Tetapi justru malah membuat banyak daerah dengan APBD kecil kehilangan kesempatan belajar karena kurang guru. Hanya mereka yang masih mau menyenandungkan Pada Mu negeri yang bertahan di daerah terpencil. Kedua, keterbatasan tenaga pengajar telah membawa pemuda-pemuda lokal untuk mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar. Mereka yang dengan kesadaran penuh akan keterbatasan kemampuan pedagogik dan profesional, larut dalam upaya menopang pendidikan lokal. Tentu saja hal ini berdampak pada kualitas pendidikan. Ketiga, rendahnya sumber daya pengajar dan sarana prasarana berdampak pada kualitas pendidikan lokal. Setiap tahunnya mereka harus bekerja keras untuk mencapai standar nasional dalam Ujian Nasional. Angka kelulusan pun masih amat rendah. Tahun 2009, dari 53 orang siswa SMA jurusan IPA dan IPS hanya 10 orang yang berhasil lulus (3 orang untuk jurusan IPS, dan 7 orang untuk jurusan IPA).
Mungkin ini hanya sedikit dari yang bisa saya bagi dan saya tulis. Banyak hal yang masih ingin saya ceritakan dan saya pertanyakan. Setidaknya ini sedikit pengantar dan pengakuan pribadi tentang bagaimana saya menemukan hakikat diri saya sebagai manusia. Bagaimana saya menjadi begitu hidup ketika ada orang lain yang membutuhkan saya, ketika saya tahu bahwa saya bermanfaat bagi orang lain. Berbahagialah saya yang bertemu ‘seniman-seniman’ penyenandung Pada Mu Negeri dari Pulau Segantang Lada. Bagaimana mereka mengajarkan saya bahwa bukan buku, bukan media elektronik, bukan lab canggih yang mengantarkan anak ke depan altar pengetahuan, tapi ‘guru’ yang membantu anak menemukan jalan.
(nemo dat quod non habet)
by: Asteria Prayitno
1 komentar:
Indah, Aster,,,
Thank u ('',)
Posting Komentar