Selasa, 22 Juni 2010

Bulletin VIRTU: LPW Citizens Institute

Tentang Kami,
Kita ‘telah’, ‘tengah’ dan selalu ‘akan’ berubah! Perubahan selalu merupakan jalan sekaligus tujuan dalam dirinya. Kondisi kita, dengan demikian, selalu berpenetrasi kedalam keadaan ‘menjadi’; always in the making. Serentetan kalimat-kalimat pendek barusan adalah aksioma sosial yang sulit diungkit sifat kukuh kedudukannya. Oleh karena itu, akan kurang artinya menyelenggarakan diskursus publik di lokus persoalan seperti tadi. Kemungkinan mendiskusikan perubahan sosial kearah ‘kewargaan yang baik’ baru akan mungkin bermakna jika dikemukakan didalam konteks: akan ‘kemana’ dan ‘kedalam’ apa kewargaan kita ‘akan berubah’? Pilihan itulah yang coba kami sampaikan melalui edisi pertama Bulletin Virtu dan juga di dalam seminar ini.

Membicarakan akan ‘kemana’ mungkin akan lebih mudah dimulai ‘darimana’. Dengan kata lain, pertanyaan terbuka yang mungkin dikemukakan disini adalah: Darimana semua ini bermula, dan sejak kapan? Bagaimana sifat perubahannya? Dan lantas, mungkinkah kita menduga kemana sebaiknya perubahan itu dinavigasikan, sembari sekaligus berupaya mengkalkulasi konsekuensi sosial-ekonomi-politik dibalik pergeseran fundamental yang dihasilkan gerakan ini terhadap situasi kewargaan kontemporer kita.

Dalam kedirian kami, pada dasarnya kita masih mungkin menjawab rentetan pertanyaan tadi dengan pertama-tama memperhatikan dan untuk lalu menganalisa ‘momen patahan’ yang terjadi dalam sejarah kepolitikan kita, yakni kedalam dan didalam fenomena Gerakan Reformasi yang terjadi pada tahun 1998.

Gerakan Reformasi 1998 telah merombakkan secara total arsitektur sistem penanda kepolitikan dalam matriks kewargaan kita. ‘Perubahan radikal’ dalam terang arti ‘rombakan sangat mendasar’ ini mewujud dalam rupa beralihnya seluruh sistem tatanan simbolik logika kekuasaan otoritarian Orde Baru ke dalam kebaruan tatanan simbolik logika kekuasaan orde reformasi yang ‘mesti dan harusnya’ bersifat demokratis.

Mari sedikit lebih agak kedalam lagi melihatnya. Begini: selalu ada ‘cacat bawaan’ dalam setiap upaya simbolisasi, tak terkecuali di dalam seluruh tatanan simbolik logika kuasa sistem pemerintahan otorirarian. ‘Cacat bawaan’ ini kira-kira bisa dirumuskan kedalam formula berikut: ‘pemerintahan diselenggarakan oleh hanya sedikit orang’, dan oleh karena cacat bawaannya ini, maka ‘kinerja dan performa negara’ demikian bergantung pada ‘kinerja segelintir elit’. Jadi, jika kinerja elit buruk maka ambruklah kinerja negara dan apabila kinerja segelintir elit baik, maka baiklah kinerja/performa negara--dan kemudian kredit dengan serta merta akan mengalir ke rekening politik elit. Tapi nyatanya hal itu tidak terjadi, dan Gerakan Reformasi berhasil mengkonfirmasi dan bahkan mampu melampaui seluruh cacat bawaan dari sistem penanda kekusaan orde baru yang sedang kita bicarakan ini.

Lantas, ‘cacat simbolik’ apa yang berhasil ‘dilampaui’ oleh gerakan ini? Mari kita lihat: Berbanding terbalik dengan logika sistem politik otoritarian, ideal sistem politik pasca gerakan reformasi mengandaikan pemerintahan mestinya diselenggarakan secara demokratis, atau bisa juga kita ringkaskan kedalam formula: ‘mestinya pemerintahan diselenggarakan oleh banyak orang’. Lantas apa akibat yang timbul dari sifat peralihan fundamental ini? Konsekuensi terkemudian dari logika penandaan seperti ini, terutama terhadap kinerja negara, adalah bahwasannya, kini, kinerja/performa negara akan demikian bergantung pada baik-tidaknya kinerja individual warga. Karena kini, pemerintahan tidak lagi diselengarakan oleh ‘segelintir elit’ melainkan oleh ‘banyak orang’ yang terdiri dari satuan individu yang teratribusi penandaan politik sebagai ‘publik’ dari republik demokratis.

Dalam terang pikir tatanan penanadaan seperti ini maka ‘publik’ atau ‘warga’ baru mungkin absah sebagai faktor konstitutif dari tegaknya negara. Dan dalam logika seperti ini pula ucapan legendaris dari John F. Kennedy itu terasa kena: “Jangan tanyakan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu bisa berikan kepada negara”.

Namun disini pulalah letak soalnya. Dengan lain kata, mampukah ‘warga’ memikul tugas-tugas kewargaanya? Mampukah ‘warga’ mengenali kebaruan sistem penanda yang kini dilekatkan pada dirinya? Dan mampukah, untuk kesekian kalinya, manusia-manusia Indonesia ini melampaui tatanan simboliknya sebagai ‘warga’ untuk menemukan kebaruan situasi yang sama-sama kita imagikan sebagai keindahan pikiran mengenai keadilan, kesejahteraan dan persaudaraan dalam ruang publik bernama NKRI. Persis di titik inilah agenda advokasi Lembaga Pemberdayaan Warga (LPW) Citizens Institute akan dilangsungkan, yakni demi melampaui dan untuk senantiasa berpenetrasi kedalam keutuhan penanda sebagai ‘warga’ yang terlihat masih centang perenang dalam memikul tugas pasca peralihan sistem penanda kuasa Orba ke Era Reformasi yang mestinya demokratis dan bertumpu kepada warga sebagai subjek-subjek par excellent. Dengan cara itu kami memperkenalkan dan membuka diri kami. Salam Citizens!

Iwa Inzagi (Sekretaris Jenderal LPW Citizens Insitute)

Pendidikan Lingkungan & Pendidikan Kewargaan: Melindungi Lingkungan, Melestarikan Kehidupan Warga

Pendahuluan

Berdasarkan kerangka acuan seminar yang disodorkan oleh panitia, makalah ini berupaya membahas isu-isu sebagai berikut:

- Problematika isu lingkungan

- Alasan pentingnya pendidikan lingkungan di dalam konteks Indonesia kontemporer

- Strategi pendidikan lingkungan dalam menghadapi krisis lingkungan

Tulisan ini tidak bersifat komprehensif maupun holistik. Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengantar diskusi belaka untuk bersama membedah permasalahan pendidikan lingkungan serta mengidentifikasi peran apa yang dapat dimainkan oleh warga guna mewujudkan ‘lingkungan yang laik’ bagi ‘warga yang baik’, dan bagaimana menyusun program pendidikan lingkungan yang tidak hanya bisa meningkatkan kesadaran warga namun juga mengundang keterlibatan warga, juga kerjasama apa saja yang bisa dilakukan oleh warga, lembaga swadaya masyarakat, negara dan kelompok kepentingan lainnya guna mengatasi krisis lingkungan.

Manusia vis a vis Alam

There are no passengers on Spaceship Earth. We are all crew members. ~Buckminster Fuller

Sulit untuk disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi saat ini, baik pada tataran global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber pada perilaku manusia. Kasus pencemaran dan kerusakan, baik di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya; banjir, kekeringan, kebakaran hutan, polusi cahaya, gagal panen, penurunan hasil tangkapan ikan, merebaknya penyakit, dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dengan sesama makhluk hidup dan hanya mementingkan diri sendiri. Ambil contoh yang konkret. Kasus semburan lumpur yang diakibatkan PT Lapindo di Sidoarjo, bencana ekologis dan sosial yang ditimbulkan PT Freeport Indonesia di Papua, tumpahan minyak akibat kebocoran kegiatan penambangan perusahaan raksasa Beyond Petroleum yang mencemari kawasan Teluk Meksiko, naiknya permukaan laut yang akan menghilangkan pulau-pulau kecil dari peta. Contoh lainnya, kasus perambahan hutan secara liar, penyelundupan kayu-kayu gelondongan, pencurian ikan oleh kapal-kapal dengan jaring pukat harimau, impor limbah secara illegal dari luar negeri, perdagangan satwa liar langka yang dilindungi, resistensi nyamuk terhadap vaksin anti malaria. Demikian pula kasus sampah di DKI Jakarta, Bandung dan daerah lainnya. Semua itu sesungguhnya disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab secara sosial dan moral, juga tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Kasus-kasus di atas tidak saja menyangkut individu orang per orang atau perusahaan, tetapi juga birokrasi pemerintah. Bahkan kasus-kasus lingkungan yang terkait dengan globalisasi perdagangan dan berbagai perjanjian internasional untuk penanganan perubahan iklim dan keanekaragaman hayati, salah satu contohnya, adalah persoalan yang menyangkut kelicikan negara tertentu yang merugikan kepentingan pihak lain yang lebih lemah, tanpa sumberdaya dan juru bicara termasuk lingkungan hidup.

Menurut Arne Naess (1993), krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Kita memerlukan pola atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang secara individualistis tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya diperlukan pendidikan lingkungan yang mengajarkan etika lingkungan yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dengan/dalam alam semesta. Dengan kata lain, krisis lingkungan yang kita alami saat ini sebenarnya berakar pada kesalahan fundamental-filosofis dalam cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan tempat manusia di dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Menurut Naess, kekeliruan cara pandang dan perilaku inilah awal mula bencana lingkungan hidup terjadi.

Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki dan bisa mengukur nilai (value), sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup umat manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja secara semena-mena terhadap alam. Cara pandang ini melahirkan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya.

Cara pandang antroposentrisme, yang menimbang alam beserta segala isinya semata sebagai alat di tangan manusia, penuh kelemahan. Kelemahannya, menurut paham ini etika berlaku terbatas bagi manusia saja. Juga, konsep mengenai perlakuan etis terhadap alam, apalagi ide tentang hak asasi alam (atau hak asasi hewan dan tumbuhan), dianggap aneh dan tidak masuk akal. Manusia tidak terima kalau binatang dan tanaman mempunyai hak yang sejajar dengan mereka. Istilah anak mudanya, gengsi dong.

Kelemahan di atas dikritik dan dikoreksi oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi kedua isme ini, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Manusia hanya bisa hidup dan berkembang sebagai manusia utuh dan penuh, tidak hanya dalam komunitas sosial, tetapi juga dalam komunitas ekologis, yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Hanya makhluk yang menjalin ketergantungan timbal-balik saling menguntungkan dengan semua kehidupan lain, dan hanya melalui “jaring kehidupan” itu makhluk semacam manusia bisa hidup dan berkembang menjadi diri sendiri dan membangun tatanan sosial. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, berevolusi, menjamin kelangsungan spesiesnya di bumi. Seperti makhluk lain, manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam jaring kehidupan di alam semesta ini. Manusia dibentuk oleh dan merealisasikan dirinya dalam alam. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, komunitas biotis dan ekologis mempunyai peran sama penting dengan komunitas sosial.

Jadi intinya, manusia tidak berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Juga, tidak ada istilah penguasa yang dapat semana-mena terhadap makhluk lain. Tidak ada istilah penumpang yang bisa berleha-leha hanya mengandalkan pihak lain demi mencapai kenyamanan pribadi. Manusia dan alam beserta segala isinya adalah awak yang bahu membahu, saling menghormati, saling bergantung satu sama lain, di kapal bernama Spaceship Earth.

Pendidikan Lingkungan

Merealisasikan etika yang baru ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Gerakan membangun budaya baru, etika baru, gaya hidup baru, yang disebut Naess sebagai ecosophy –gerakan kearifan merawat bumi sebagai sebuah rumah tempat yang nyaman bagi semua kehidupan, adalah jalan terjal berliku. Tapi membangun gerakan bersama demi terwujudnya “damai di bumi” ini adalah niscaya. Budaya baru ini tetap harus dimulai, diajarkan, dipertahankan, dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di sinilah letak pentingnya pendidikan.

Kendala yang biasa menghadang gerakan pendidikan dan penyadaran lingkungan, selain yang bersifat teknis, juga berupa tantangan untuk mendapat buy-in dari warga. Warga perlu mengerti bahwa gerakan ini bermanfaat bagi mereka dan selanjutnya terdorong untuk melakukan aksi nyata. Kenyataan di lapangan mungkin sedikit membuat masygul. Ternyata dukungan masyarakat masih rendah. Ini diduga karena kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan rasa kepemilikan serta lemahnya keterlibatan warga dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurut Kushardanto (2007), kesadaran dan dukungan yang lemah dari masyarakat lokal membuat beberapa kawasan konservasi dunia yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati terancam keberadaannya. (Makalah ini selanjutnya akan membatasi diri dalam wilayah konservasi, karena isu lingkungan terlalu umum sehingga sulit mendapatkan data mutakhir).

Pendidikan lingkungan di dalam rangka mendukung pengelolaan kawasan konservasi perlu dijadikan program yang sama pentingnya dengan program-program yang lain. Seringkali pendidikan konservasi masih sebatas program pelengkap dan sifatnya hanya insidental. Pendidikan konservasi masih dilakukan dengan metode, penggunaan media dan waktu penjangkauan yang tidak tepat. Masih menurut Kushardanto, pendidikan konservasi tidak mencapai tujuan karena pesan yang disampaikan melalui media kepada masyarakat masih terlalu teknis sehingga membuat masyarakat merasa tidak berdaya, tidak mengerti dan tidak memahami serta mereka berkeyakinan bahwa situasinya begitu serius sehingga kegiatan apa pun yang akan lakukan pasti tidak akan berguna, laksana upaya menggarami lautan.

Pendidikan konservasi yang tidak dirancang dengan baik dan dimaksudkan hanya untuk sekedar informasi tidak akan berhasil, baik dalam hal pesan yang disampaikan maupun dari aspek proses membangun dukungan konstituen. Pesan-pesan konservasi yang telah dirancang dengan teliti dan dengan segmentasi pasar yang tepat diyakini akan berhasil jika disampaikan dengan menggunakan saluran komunikasi yang tepat. Saluran dalam berkomunikasi menurut Winarso (2005) yaitu media komunikasi interpersonal, televisi, radio, film, buku, koran, majalah (media komunikasi massa), telepon, teleks, telegram dan lain-lain. Menurut Weinreich (1999) untuk menjangkau target audien untuk berbagai segmentasi yang berbeda, perlu diidentifikasi saluran komunikasi yang menarik perhatian dan yang dipercayai oleh audien. Untuk target audien yang berbeda, maka dalam penjangkauannya pendidik perlu memilih saluran komunikasi yang sudah popular dan dapat dipertanggungjawabkan.

Salah satu bentuk implementasi pendidikan konservasi dengan menggunakan berbagai media komunikasi dan kelompok sasaran yang luas yaitu Kampanye Bangga (Pride Campaign). Kampanye Bangga, yang dikembangkan oleh lembaga konservasi yang mengkhususkan diri dalam pendidikan konservasi RARE International dan dibantu oleh lembaga konservasi terkemuka dunia The Nature Conservancy, adalah suatu perkawinan antara pendidikan konservasi secara tradisional dan teknik social marketing yang bertumpu kepada perubahan perilaku untuk membangkitkan dukungan dan aksi konservasi dari publik. Media edukatif dan kreatif yang digunakan dalam kampanye ini, misalnya menggunakan maskot spesies kunci, kegiatan sekolah, media cetak, media massa, dan berbagai media lain yang digali dari media preferensi target kampanye. Penggunaan media yang tepat akan mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku positif terhadap kawasan konservasi.

Pendidikan konservasi gagal untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat salah satu penyebabnya karena kesalahan dalam memilih, merancang dan menggunakan media komunikasi. Beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas media komunikasi menurut Weinreich (1999) yaitu proses pemilihan media berdasarkan preferensi masyarakat, uji coba penggunaan media, serta metode atau waktu pendistribusian media. Pertanyaan yang penting yang ingin dijawab melalui penelitian ini yaitu apakah benar media yang dipilih dengan melibatkan masyarakat dapat berdampak positif terhadap perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap konservasi sumberdaya. Pembelajaran pendidikan konservasi di beberapa tempat menurut RARE terbukti berhasil karena menggunakan media komunikasi berdasarkan media preferensi masyarakat target.

Tahapan Kampanye Bangga dengan prinsip-prinsip social marketing-nya, selama relevan dapat dijadikan acuan untuk menyusun strategi pendidikan lingkungan bagi warga secara umum. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, pendidikan lingkungan adalah tanggung jawab dan hak setiap warga di bumi pertiwi yang dilindungi oleh Undang-Undang. Bahkan mengingat pentingnya pendidikan lingkungan, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi ihwal pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya (UNESCO) dan program lingkungan (UNEP) telah banyak mengembangkan prakarsa di bidang ini. Salah satunya adalah International Environmental Education Program. Program ini mengakui kebutuhan pendidikan baik yang formal melalui sekolah maupun pendidikan informal yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok warga yang peduli.

Penutup

Pendidikan lingkungan, yang dilakukan oleh para pendidik yang terampil dan “passionate”, adalah langkah awal untuk mendobrak cara berpikir dan berperilaku dalam kerangka paradigm etika lama yang bersifat antroposentris. Merealisasikan etika baru dan gaya hidup baru bernama ecosophy yang biosentris dan ekosentris memerlukan komitmen bersama, yang bersinergi menjadi sebuah gerakan (yang bisa digerakkan melalui program kampanye yang tepat sasaran dan terus menerus semacam “Kampanye Bangga”). Gerakan bersama ini sangat dibutuhkan karena bencana ekologis dan krisis lingkungan saat ini tengah menuju ke arah yang memprihatinkan. Krisis lingkungan adalah krisis kehidupan, sehingga menyelamatkan lingkungan berarti menyelamatkan kehidupan. Hal ini tidak mustahil dilakukan. Mari mengubah pola hidup kita, sebagai individu dan kelompok, dari hal terkecil, sekarang juga. Terima kasih.


by: DR. Elis Nurhayati Hart, MA (Manajer Hubungan Media & Informasi, The Nature Conservancy-Program Indonesia)

Ketika Jargon Kapitalisme Menjadi “How Beautiful You Are!!!”

Dewasa ini, sasaran empuk kapitalisme adalah kaum perempuan. Kapitalisme melihat sisi lemah wanita akan pentingnya sebuah penampilan dan kecantikan sebagai peluang untuk menyeret perempuan menuju ketergantungan. Hegemoni kapitalisme terhadap perempuan dilakukan lewat kultur dan nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam era modern seperti sekarang, kultur dan nilai yang ada dalam masyarakat mulai dipengaruhi kultur dan nilai yang bersal dari luar sistem yang ada. Kaitannya dengan perempuan adalah pergeseran makna kecantikan bagi sebagian besar perempuan di Indonesia, khususnya Jakarta.

Masuknya industri-industri yang memproduksi produk-produk kecantikan telah menggeser makna cantik bagi perempuan. Kecantikan dinilai dari seberapa putih kulit kita, seberapa ramping tubuh kita, seberapa mancung hidung kita, seberapa proposional bagian-bagian tubuh kita, dan lain-lain. Hal ini semakin membuat banyak perempuan terjebak dalam proses pemaknaan arti cantik bagi dirinya sendiri, ditambah banyaknya produk-produk yang menjanjikan kecantikan. Padahal produk-produk kecantikan yang disosialisasikan lewat berbagai media, merupakan hegemoni kapitalisme terhadap perempuan. Karena perempuan tanpa sadar “dirayu” untuk menerima pengaruh kapitalisme.

Perkembangan arus informasi yang terus berlangsung dari pagi hingga malam juga membawa pengaruh terhadap tingkat konsumerisme perempuan terhadap produk-produk kecantikan, mulai dari kosmetik, tata rambut, cara berpakaian, dll. Hingga banyak perempuan yang rela “menyakiti” dirinya untuk mendapatkan kecantikan yang sempurna. Pada akhirnya hal ini pula yang menghancurkan beberapa perempuan, mulai dari kesalahan suntik silikon, anorexia, hingga operasi-operasi tubuh yang membawa kematian. Jika seperti ini, siapakah yang patut disalahkan? Kapitalismekah atau kultur dan nilai yang ada dalam masyarakat kita yang tampaknya tidak lagi mampu memisahkan antara yang baik dan buruk? Atau memang perempuan-perempuan itu yang salah karena terjebak dalam stigma yang salah tentang kecantikan

Hegemoni Kapitalisme dan Industri Kosmetik

Hegemoni, seperti yang diungkapkan Antonio Gramsci, merupakan suatu mekanisme penguasaan suatu wilayah mental umum atau kesadaran yang lebih bersifat rayuan tanpa paksaan, hingga membentuk kesukarelaan. Hegemoni bekerja melalui saluran kultural. Dalam kebudayaan suatu mental dibentuk oleh adanya nilai yang dijunjung. Dalam lingkungan industri, misalnya kelas pekerja tanpa sadar telah menerima kebudayaan kapitalis yang pada akhirnya membuat mereka kehilangan kebudayaan kelas mereka sendiri. Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan. Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan.
Definisi lain menyebutkan, hegemony is the dominance of one group over other groups, with or without the threat of force, to the extent that, for instance, the dominant party can dictate the terms of trade to its advantages; more broadly, cultural perspectives become skewed to favor the dominant group. Hegemony controls the ways that ideas become “naturalized” in a process that informs notions of common sense.

Dalam pandangan Gramsci, hegemonilah yang telah membuat kapitalisme dapat terus tumbuh subur. Seperti yang ia lihat dalam rezim fasis Mussolini dimana rakyat yang berada di bawah tekanan Mussolini tidak melawan, namun justru menerima dan mendukung rezim yang berkuasa. Revolusi kaum buruh menjadi gagal akibat hegemoni kaum penguasa telah menenggelamkan ideologi, nilai, kesadaran diri, dan organisasi kaum buruh. Hegemoni kapitalisme telah masuk ke masyarakat dunia ketiga (misalnya Indonesia). Namun umumnya masyarakat dunia ketiga tidak menyadari bahwa dirinya telah dieksploitasi negara-negara maju. Internalisasi nilai yang terjadi dalam hal ini lewat aparat kebudayaan seperti media massa, film, internet, televisi, musik, dll.

Dalam kaitannya dengan Industri kosmetik wanita, kapitalisme memang patut diacungi jempol karena dapat melihat sasaran yang tepat untuk mengembangkan pengaruhnya. Industri kosmetik dapat menarik kaum perempuan tanpa sadar untuk mengeksploitasi diri mereka sendiri. Industri kosmetik menggunakan aparat kebudayaan seperti media iklan lewat surat kabar, televisi, internet untuk menarik minat banyak kaum perempuan di Indonesia. Sebagian besar perempuan berusaha untuk menjaga apa yang mereka sebut dengan “kecantikan”. Masing-masing orang memiliki pandangan tersendiri dari pemaknaan kata “kecantikan”. Namun, dengan perkembangan industri kosmetik dan media informasi, tanpa disadari menggeser makna cantik sebagian besar perempuan. Tanpa sadar para perempuan memaknai cantik sesuai dengan apa yang industri kosmetik tunjukkan dalam proses iklan. Ikon-ikon kecantikan yang berwujud bak “bidadari”, menjadi dambaan hampir semua perempuan. Maka tidak sedikit perempuan yang akhirnya mengeksploitasi diri agar tampak seperti “bidadari”.
Terus berkembangnya industri kosmetik yang memanjakan perempuan tidak lepas dari semakin tinggi minat perempuan terhadap produk-produk yang ada. Di televisi, “perang” produk pelangsing dan pemutih kulit terlihat dalam iklan-iklan. Tentu saja hal ini dapat terjadi karena semakin banyaknya kaum perempuan yang berusaha mengeksploitasi diri untuk menjadi cantik dan sempurna. Hal ini yang menjadi sasaran empuk kaum industrialis untuk mendapatkan pasar.

Kecantikan dan Perempuan

Beauty Inside, masihkah stigma ini dijunjung banyak perempuan? Apalagi dengan semakin berkembangnya teknologi yang masuk. Arus informasi yang berkembang lewat media massa seperti televisi, telah menyeret banyak perempuan ke dalam pemaknaan yang lain dari kecantikan, yaitu Beauty Outside. Perempuan selalu identik dengan upaya untuk terus mempercantik dirinya. Bisa dihitung lewat iklan di televisi dalam 1 jam ada berapa banyak iklan yang menunjukkan produk-produk yang menunjang kecantikan perempuan. Apalagi dengan penggunaan model-model iklan yang berukuran tubuh khas ras kaukasoid (tubuh ramping menjulang tinggi, kaki mulus, hidung mancung, kulit putih bersih, dll), semakin menyeret perempuan untuk memaknai kecantikan lebih dari sekedar kecantikan dalam (inner beauty).
Tidak ada perempuan yang tidak ingin terlihat cantik, bahkan perempuan-perempuan yang sudah berusia paruh baya. Dan kapitalisme melihat peluang ini, lewat banyak produk-produk kecantikan yang menawarkan “keawetmudaan” bagi perempuan-perempuan paruh baya. Dan bagi, perempuan-perempuan muda, ditawarkan berbagai produk kecantikan yang menawarkan pemutihan kulit, pelangsing tubuh, pewarna rambut, dsb.

Perempuan semakin terjebak pada konsumerisme yang berlebih setiap harinya. Mulai dari produk pembersih wajah sampai obat pelangsing tubuh. Kapitalisme nampaknya memanjakan perempuan sebagai seorang ratu yang mampu mengubah dirinya lewat produk-produk kecantikan. Hampir sebagian besar produk-produk kecantikan itu datang dari negara-negara seperti Cina, Jepang, Eropa, Amerika, dll. Mereka memperkuat industri kecantikan lewat pembangunan MLM dan MNC di Indonesia.

Pola konsumerisme yang tinggi pada kebutuhan produk kecantikan dilihat sebagai peluang bisnis segelintir orang yang mencoba mengambil keuntungan dengan memasulkan berbagai produk kecantikan. Mulai dari merk kosmetik, pakaian, tas, sepatu, dan lain-lain. Dan perempuan sebagai objek, tanpa disadari telah dieksploitasi oleh kapitalisme. Kapitalisme mengeksploitasi perempuan, dan perempuan mengeksploitasi diri untuk mencapai “kecantikan” yang sempurna (nalar instrumental).Dan pada akhirnya perempuan terjebak pada ketergantungan untuk mengeksploitasi diri lewat pemakaian produk-produk kecantikan.
Dari hal ini bisa dilihat, bahwa kata “cantik” yang disebarkan oleh kapitalisme lewat produk kecantikan telah memanipulasi bnayak pikiran perempuan tentang diri mereka. Mereka berupaya memenuhi kriteria “cantik” yang ditayangkan oleh media, lewat penggunaan produk kecantikan. Upaya mempercantik diri, jika dilihat memang merupakan salah satu bentuk nalar instrumental. Di mana eksploitasi atas diri perempuan dilakukan untuk mencapai kecantikan. Dan pada akhirnya tidak sedikit nalar instrumental telah membawa masalah baru bagi perempuan.

Masalah yang muncul dari upaya perempuan untuk mempercantik diri, misalnya anorexia akibat diet yang ketat untuk melangsingkan tubuh, kanker kulit akibat penggunaan kosmetik yang tidak aman bagi kulit, kerusakan jaringan kulit akibat suntikan silikon cair, bahkan kematian akibat operasi bagian tubuh agar menjadi lebih proposional dan menarik. Pikiran milik manusia pada akhirnya menjadi senjata pembunuh bagi diri manusia sendiri. Seperti yang menjadi keprihatinan generasi pertama Frankfurt School (W. Benjamin, T. Adorno, dan Max Horkheimer) pada kehidupan manusia modern. Kapitalisme lebih diartikan sebagai produk nalar instrumental daripada nalar instrumental yang merupakan hasil kapitalisme (Adorno dan Horkheimer, dalam Ian Craib:1992).

Nalar instrumental seperti kita ketahui, memisahkan antara nilai dan fakta. Ilmu pengetahuan telah memberikan kemajuan dalam industri kimia untuk produk kecantikan; namun bukan menjadi masalah bagi ilmu pengetahuan apakah produk itu menolong ataukah membunuh manusia secara perlahan. Dalam hal kecantikan, bedah plastik memang suatu temuan dalam dunia kesehatan dan kecantikan, namun tidak jarang pada akhirnya mendorong seseorang menjadi “pecandu bedah plastik”. Suatu penyakit psikis, dimana seseorang merasa bahagia jika melakukan bedah plastik, oleh karena itu seseorang dengan kelainan seperti ini akan berupaya terus menerus melakukan bedah plastik dan sulit untuk merasa puas atas bedah plastik yang telah dilakukan. Seperti yang pernah ditampilan dalam acara Oprah Winfrey, di Metro TV.

Ketergantungan berlebih yang dialami sejumlah perempuan terhadap produk-produk kosmetik telah menghasilkan suatu kepribadian yang narsistik yang lemah, yang digerogoti oleh kecemasan dan pencarian model-model yang kuat untuk beridentifikasi (Ian Craib;1992) . Maka tidak heran jika banyak perempuan berupaya mengidentifikasi diri dengan model-model produk kecantikan atau publik figure yang lainnya. Jika benar bahwa “merasa bahagia merupakan kosmetik terbaik bagi hidup”, bagaimana para perempuan bisa tenang merasa bahagia jika stigma cantik bukan lagi Beauty Inside? Apalagi iklan-iklan yang ada di televisi menampilkan ikon kecantikan lewat paras kaukasoid atau indo dengan tubuh yang proposional. Jika sebagian perempuan bisa menjawab bahwa mereka bisa bahagia dengan yang mereka miliki, yang lainnya akan menjawab bahwa mereka masih ingin lebih dari yang sekarang mereka miliki.
Bagaimana perempuan melihat dan menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya yang ada di luar dirinya menilai perempuan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak perempuan akan selalu berusaha untuk menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan apa yang dikatakan oleh sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya tentang konsep kecantikan. Apalagi makna kecantikan yang ada dalam masyarakat telah dikuasai oleh media dan iklan. Hal ini telah mempersempit pengertian cantik, yang lebih diartikan sebagai bentuk fisik.

Banyak iklan yang memperlihatkan produk kecantikan sebagai perlambang kecantikan yang alami. Pada awalnya mungkin tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut (kecantikan alami dan produk kecantikan). Namun akibat seringnya dua hal tersebut disandingkan, maka menimbulkan makna baru bahwa produk kecantikan yang diperlihatkan merupakan representasi dari kecantikan alami. Fenomena yang terjadi pada kebanyakan kaum perempuan ini menunjukkan bahwa makna yang sebelumnya tidak ada dapat diciptakan atau terbentuk dan kemudian dapat benar-benar dipercaya ada. Seperti yang Baudrillard katakan bahwa saat ini banyak tercipta apa yang disebut simulasi (simulacra), ruang pemaknaan dimana tanda-tanda saling terkait tanpa harus memiliki tautan logis.

Penutup

Kapitalisme yang awalnya diramalkan akan mengalami kehancurannya, ternyata tidak terbukti. Yang ada saat ini adalah semakin meluasnya kapitalisme ke seluruh bagian dunia. Kapitalisme memiliki kemampuan beradaptasi yang kuat seiring dengan perkembangan jaman. Wajah kapitalisme menjadi lebih halus dalam menyeret banyak orang. Hegemoni kapitalisme menyeret banyak orang tanpa paksaan, dan pada akhirnya membuat banyak orang menerima kultur kapitalisme yang ada. Di era industrialisasi, kapitalisme melihat kaum perempuan sebagai sasaran empuk.

Eksploitasi kapitalisme pada perempuan dilakukan lewat industrialisasi produk-produk kecantikan. Dan pada gilirannya, banyak kaum perempuan yang mengeksploitasi dirinya sendiri lewat penggunaan produk-produk kecantikan. Upaya kapitalisme menarik minat banyak kaum perempuan adalah lewat aparat-aparat kebudayaan seperti televisi, iklan, internet, dll. Masuknya nilai dan kultur dari luar, telah merubah makna cantik bagi banyak perempuan.
Hanya sedikit perempuan yang masih memegang teguh jargon beauty inside, dan yang lainnya lebih memilih beauty outside. Hal ini masuk ke dalam sosial budaya masyarakat dalam memaknai kecantikan perempuan. Dilain pihak, seorang perempuan menilai kecantikan dirinya dipengaruhi cara lingkungan sosial dan budaya yang berada di luar dirinya memaknai kata “cantik”. Maka tidak heran jika banyak perempuan yang berusaha menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan kata sosial dan budaya masyarakat tentang konsep cantik.

Selain itu, dengan banyaknya produk kecantikan yang mengkampanyekan kesan bahwa produk kecantikan adalah perlambang kecantikan yang alami, maka lembat laun terjadi hubungan antara kedua variabel tersebut. Karena selalu disandingkan bersamaan, pada tahap selanjutnya tejadi asosiasi keduanya dalam pola pemikiran masyarakat. Dan membuat produk kecantikan diartikan sebagai representasi kecantikan alami. Hal ini merupakan fenomena yang oleh Baudrillard disebut sebagai simulasi (simulacra), yaitu ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait tanpa harus memiliki tautan logis.

Pada kesimpulannya hegemoni kapitalisme masuk dan menjadikan kaum perempuan sebagai sasarannya lewat “penjualan mimpi” untuk menjadi cantik lewat industri kosmetik. Pada akhirnya pergeseran makna kecantikan yang menjadi akibatnya. Kapitalisme mengeksploitasi perempuan dengan mimpi menjadi cantik, dan perempuan mengeksploitasi diri dengan produk kecantikan untuk menjadi cantik. Banyak orang beranggapan bahwa menjadi cantik lewat produk kecantikan merupakan salah satu cara menjadi cantik yang bersifat KISS (Keep It Simple but Stupid), tapi salahkah perempuan yang mengeksploitasi diri mereka untuk menjadi cantik? Apalagi tidak dapat dipungkiri makna kecantikan yang ada dalam masyarakat sosial dan budaya dipengaruhi oleh ikon-ikon yang digunakan produk kecantikan dalam iklan.

by: Asteria Prayitno

YANG KECIL DAN YANG TERPINGGIRKAN ; WISMA AIRTON

Mungkin tidak banyak yang tahu akan keberadaan dan hidup mereka, namun mereka tahu apa yang sebagian besar kita tidak tahu tentang bertahan hidup. Mereka adalah komunitas kecil yang bermukim di bawah kolong jembatan. Beratapkan beton dan beralaskan aliran sungai dengan tumpukan sampah. Mereka adalah orang-orang yang punya “daftar harapan” panjang, sepanjang aliran sungai tempat mereka bergantung.


Mereka dan sungai, seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dari sampah yang bagi sebagian orang tak lagi berguna, menjadi cara mereka untuk bertahan hidup di Jakarta yang katanya “lebih kejam daripada ibu tiri.” Setiap hari mereka mencari sampah plastik yang terbawa arus aliran sungai, hanya untuk membuat dapur mereka tetap “berasap.” Dan mereka tanpa sadar telah membantu kita membersihkan sungai dari sampah “keangkuhan hidup Jakarta”.


Secara sosiologis, mereka adalah gambaran kepadatan sebuah kota seperti yang Louis Wirth kemukakan. Dengan tingkat pertumbuhan kota dan pertumbuhan tingkat kepadatan, semakin “memperketat” persaingan antar individu. Mereka yang kalah, adalah mereka yang akhirnya tersingkirkan. Namun, daya juang hidup mereka tidak bisa diabaikan.


Mereka hidup secara sederhana, hidup adalah hari ini. Dan esok biarkan tangan Tuhan yang mengatur. Namun, bukan berarti mereka berpangku tangan, mereka hanya tidak mau terlalu sering “menumpuk” mimpi yang akhirnya ikut hanyut dibawa aliran sungai. Mereka punya banyak mimpi yang mereka “taruh’ pada anak mereka, namun mereka menyadari bahwa kenyataan sampai hari ini mereka masih dapat bertahan hidup adalah hal yang patut disyukuri.


Kini, keberadaan mereka terancam. Setelah harapan yang hampir musnah ditelan banjir awal tahun ini, kini mereka harus bersiap-siap untuk pindah dari tempat yang telah mereka tempati sejak awal tahun 80-an. Usaha pemerintah dengan memberi image kota megapolitan lewat pembangunan “waterways” akan “mengusir” mereka dengan sendirinya. Namun mereka menyadari bahwa mereka adalah “buruh” pemerintah, dan pemerintah si empunya kuasa. Walau mereka sendiri tidak tahu kemana mereka akan pergi. Setidaknya dibalik budaya “buang sampah sembarangan” masyarakat Jakarta, mereka masih dapat memperpanjang hidup mereka di WISMA AIRTON. Karena pemerintah harus “menyulap” sungai menjadi bersih dari sampah, dan pastinya tidak sedikit waktu yang diperlukan.


“kekuatan dan keberanian,,,butuh kekuatan untuk bertahan hidup namun butuh keberanian untuk hidup”.

-anonim-


*AIRTON, adalah sebutan yang mereka berikan untuk tempat mereka tinggal AIRTON merupakan kependekan dari ATAS AIR BAWAH BETON. Atau mereka juga menyebutnya sebagai APARTEMEN GANTUNG.


by: Asteria Prayitno