Selasa, 22 Juni 2010

Ketika Jargon Kapitalisme Menjadi “How Beautiful You Are!!!”

Dewasa ini, sasaran empuk kapitalisme adalah kaum perempuan. Kapitalisme melihat sisi lemah wanita akan pentingnya sebuah penampilan dan kecantikan sebagai peluang untuk menyeret perempuan menuju ketergantungan. Hegemoni kapitalisme terhadap perempuan dilakukan lewat kultur dan nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam era modern seperti sekarang, kultur dan nilai yang ada dalam masyarakat mulai dipengaruhi kultur dan nilai yang bersal dari luar sistem yang ada. Kaitannya dengan perempuan adalah pergeseran makna kecantikan bagi sebagian besar perempuan di Indonesia, khususnya Jakarta.

Masuknya industri-industri yang memproduksi produk-produk kecantikan telah menggeser makna cantik bagi perempuan. Kecantikan dinilai dari seberapa putih kulit kita, seberapa ramping tubuh kita, seberapa mancung hidung kita, seberapa proposional bagian-bagian tubuh kita, dan lain-lain. Hal ini semakin membuat banyak perempuan terjebak dalam proses pemaknaan arti cantik bagi dirinya sendiri, ditambah banyaknya produk-produk yang menjanjikan kecantikan. Padahal produk-produk kecantikan yang disosialisasikan lewat berbagai media, merupakan hegemoni kapitalisme terhadap perempuan. Karena perempuan tanpa sadar “dirayu” untuk menerima pengaruh kapitalisme.

Perkembangan arus informasi yang terus berlangsung dari pagi hingga malam juga membawa pengaruh terhadap tingkat konsumerisme perempuan terhadap produk-produk kecantikan, mulai dari kosmetik, tata rambut, cara berpakaian, dll. Hingga banyak perempuan yang rela “menyakiti” dirinya untuk mendapatkan kecantikan yang sempurna. Pada akhirnya hal ini pula yang menghancurkan beberapa perempuan, mulai dari kesalahan suntik silikon, anorexia, hingga operasi-operasi tubuh yang membawa kematian. Jika seperti ini, siapakah yang patut disalahkan? Kapitalismekah atau kultur dan nilai yang ada dalam masyarakat kita yang tampaknya tidak lagi mampu memisahkan antara yang baik dan buruk? Atau memang perempuan-perempuan itu yang salah karena terjebak dalam stigma yang salah tentang kecantikan

Hegemoni Kapitalisme dan Industri Kosmetik

Hegemoni, seperti yang diungkapkan Antonio Gramsci, merupakan suatu mekanisme penguasaan suatu wilayah mental umum atau kesadaran yang lebih bersifat rayuan tanpa paksaan, hingga membentuk kesukarelaan. Hegemoni bekerja melalui saluran kultural. Dalam kebudayaan suatu mental dibentuk oleh adanya nilai yang dijunjung. Dalam lingkungan industri, misalnya kelas pekerja tanpa sadar telah menerima kebudayaan kapitalis yang pada akhirnya membuat mereka kehilangan kebudayaan kelas mereka sendiri. Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan. Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan.
Definisi lain menyebutkan, hegemony is the dominance of one group over other groups, with or without the threat of force, to the extent that, for instance, the dominant party can dictate the terms of trade to its advantages; more broadly, cultural perspectives become skewed to favor the dominant group. Hegemony controls the ways that ideas become “naturalized” in a process that informs notions of common sense.

Dalam pandangan Gramsci, hegemonilah yang telah membuat kapitalisme dapat terus tumbuh subur. Seperti yang ia lihat dalam rezim fasis Mussolini dimana rakyat yang berada di bawah tekanan Mussolini tidak melawan, namun justru menerima dan mendukung rezim yang berkuasa. Revolusi kaum buruh menjadi gagal akibat hegemoni kaum penguasa telah menenggelamkan ideologi, nilai, kesadaran diri, dan organisasi kaum buruh. Hegemoni kapitalisme telah masuk ke masyarakat dunia ketiga (misalnya Indonesia). Namun umumnya masyarakat dunia ketiga tidak menyadari bahwa dirinya telah dieksploitasi negara-negara maju. Internalisasi nilai yang terjadi dalam hal ini lewat aparat kebudayaan seperti media massa, film, internet, televisi, musik, dll.

Dalam kaitannya dengan Industri kosmetik wanita, kapitalisme memang patut diacungi jempol karena dapat melihat sasaran yang tepat untuk mengembangkan pengaruhnya. Industri kosmetik dapat menarik kaum perempuan tanpa sadar untuk mengeksploitasi diri mereka sendiri. Industri kosmetik menggunakan aparat kebudayaan seperti media iklan lewat surat kabar, televisi, internet untuk menarik minat banyak kaum perempuan di Indonesia. Sebagian besar perempuan berusaha untuk menjaga apa yang mereka sebut dengan “kecantikan”. Masing-masing orang memiliki pandangan tersendiri dari pemaknaan kata “kecantikan”. Namun, dengan perkembangan industri kosmetik dan media informasi, tanpa disadari menggeser makna cantik sebagian besar perempuan. Tanpa sadar para perempuan memaknai cantik sesuai dengan apa yang industri kosmetik tunjukkan dalam proses iklan. Ikon-ikon kecantikan yang berwujud bak “bidadari”, menjadi dambaan hampir semua perempuan. Maka tidak sedikit perempuan yang akhirnya mengeksploitasi diri agar tampak seperti “bidadari”.
Terus berkembangnya industri kosmetik yang memanjakan perempuan tidak lepas dari semakin tinggi minat perempuan terhadap produk-produk yang ada. Di televisi, “perang” produk pelangsing dan pemutih kulit terlihat dalam iklan-iklan. Tentu saja hal ini dapat terjadi karena semakin banyaknya kaum perempuan yang berusaha mengeksploitasi diri untuk menjadi cantik dan sempurna. Hal ini yang menjadi sasaran empuk kaum industrialis untuk mendapatkan pasar.

Kecantikan dan Perempuan

Beauty Inside, masihkah stigma ini dijunjung banyak perempuan? Apalagi dengan semakin berkembangnya teknologi yang masuk. Arus informasi yang berkembang lewat media massa seperti televisi, telah menyeret banyak perempuan ke dalam pemaknaan yang lain dari kecantikan, yaitu Beauty Outside. Perempuan selalu identik dengan upaya untuk terus mempercantik dirinya. Bisa dihitung lewat iklan di televisi dalam 1 jam ada berapa banyak iklan yang menunjukkan produk-produk yang menunjang kecantikan perempuan. Apalagi dengan penggunaan model-model iklan yang berukuran tubuh khas ras kaukasoid (tubuh ramping menjulang tinggi, kaki mulus, hidung mancung, kulit putih bersih, dll), semakin menyeret perempuan untuk memaknai kecantikan lebih dari sekedar kecantikan dalam (inner beauty).
Tidak ada perempuan yang tidak ingin terlihat cantik, bahkan perempuan-perempuan yang sudah berusia paruh baya. Dan kapitalisme melihat peluang ini, lewat banyak produk-produk kecantikan yang menawarkan “keawetmudaan” bagi perempuan-perempuan paruh baya. Dan bagi, perempuan-perempuan muda, ditawarkan berbagai produk kecantikan yang menawarkan pemutihan kulit, pelangsing tubuh, pewarna rambut, dsb.

Perempuan semakin terjebak pada konsumerisme yang berlebih setiap harinya. Mulai dari produk pembersih wajah sampai obat pelangsing tubuh. Kapitalisme nampaknya memanjakan perempuan sebagai seorang ratu yang mampu mengubah dirinya lewat produk-produk kecantikan. Hampir sebagian besar produk-produk kecantikan itu datang dari negara-negara seperti Cina, Jepang, Eropa, Amerika, dll. Mereka memperkuat industri kecantikan lewat pembangunan MLM dan MNC di Indonesia.

Pola konsumerisme yang tinggi pada kebutuhan produk kecantikan dilihat sebagai peluang bisnis segelintir orang yang mencoba mengambil keuntungan dengan memasulkan berbagai produk kecantikan. Mulai dari merk kosmetik, pakaian, tas, sepatu, dan lain-lain. Dan perempuan sebagai objek, tanpa disadari telah dieksploitasi oleh kapitalisme. Kapitalisme mengeksploitasi perempuan, dan perempuan mengeksploitasi diri untuk mencapai “kecantikan” yang sempurna (nalar instrumental).Dan pada akhirnya perempuan terjebak pada ketergantungan untuk mengeksploitasi diri lewat pemakaian produk-produk kecantikan.
Dari hal ini bisa dilihat, bahwa kata “cantik” yang disebarkan oleh kapitalisme lewat produk kecantikan telah memanipulasi bnayak pikiran perempuan tentang diri mereka. Mereka berupaya memenuhi kriteria “cantik” yang ditayangkan oleh media, lewat penggunaan produk kecantikan. Upaya mempercantik diri, jika dilihat memang merupakan salah satu bentuk nalar instrumental. Di mana eksploitasi atas diri perempuan dilakukan untuk mencapai kecantikan. Dan pada akhirnya tidak sedikit nalar instrumental telah membawa masalah baru bagi perempuan.

Masalah yang muncul dari upaya perempuan untuk mempercantik diri, misalnya anorexia akibat diet yang ketat untuk melangsingkan tubuh, kanker kulit akibat penggunaan kosmetik yang tidak aman bagi kulit, kerusakan jaringan kulit akibat suntikan silikon cair, bahkan kematian akibat operasi bagian tubuh agar menjadi lebih proposional dan menarik. Pikiran milik manusia pada akhirnya menjadi senjata pembunuh bagi diri manusia sendiri. Seperti yang menjadi keprihatinan generasi pertama Frankfurt School (W. Benjamin, T. Adorno, dan Max Horkheimer) pada kehidupan manusia modern. Kapitalisme lebih diartikan sebagai produk nalar instrumental daripada nalar instrumental yang merupakan hasil kapitalisme (Adorno dan Horkheimer, dalam Ian Craib:1992).

Nalar instrumental seperti kita ketahui, memisahkan antara nilai dan fakta. Ilmu pengetahuan telah memberikan kemajuan dalam industri kimia untuk produk kecantikan; namun bukan menjadi masalah bagi ilmu pengetahuan apakah produk itu menolong ataukah membunuh manusia secara perlahan. Dalam hal kecantikan, bedah plastik memang suatu temuan dalam dunia kesehatan dan kecantikan, namun tidak jarang pada akhirnya mendorong seseorang menjadi “pecandu bedah plastik”. Suatu penyakit psikis, dimana seseorang merasa bahagia jika melakukan bedah plastik, oleh karena itu seseorang dengan kelainan seperti ini akan berupaya terus menerus melakukan bedah plastik dan sulit untuk merasa puas atas bedah plastik yang telah dilakukan. Seperti yang pernah ditampilan dalam acara Oprah Winfrey, di Metro TV.

Ketergantungan berlebih yang dialami sejumlah perempuan terhadap produk-produk kosmetik telah menghasilkan suatu kepribadian yang narsistik yang lemah, yang digerogoti oleh kecemasan dan pencarian model-model yang kuat untuk beridentifikasi (Ian Craib;1992) . Maka tidak heran jika banyak perempuan berupaya mengidentifikasi diri dengan model-model produk kecantikan atau publik figure yang lainnya. Jika benar bahwa “merasa bahagia merupakan kosmetik terbaik bagi hidup”, bagaimana para perempuan bisa tenang merasa bahagia jika stigma cantik bukan lagi Beauty Inside? Apalagi iklan-iklan yang ada di televisi menampilkan ikon kecantikan lewat paras kaukasoid atau indo dengan tubuh yang proposional. Jika sebagian perempuan bisa menjawab bahwa mereka bisa bahagia dengan yang mereka miliki, yang lainnya akan menjawab bahwa mereka masih ingin lebih dari yang sekarang mereka miliki.
Bagaimana perempuan melihat dan menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya yang ada di luar dirinya menilai perempuan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak perempuan akan selalu berusaha untuk menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan apa yang dikatakan oleh sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya tentang konsep kecantikan. Apalagi makna kecantikan yang ada dalam masyarakat telah dikuasai oleh media dan iklan. Hal ini telah mempersempit pengertian cantik, yang lebih diartikan sebagai bentuk fisik.

Banyak iklan yang memperlihatkan produk kecantikan sebagai perlambang kecantikan yang alami. Pada awalnya mungkin tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut (kecantikan alami dan produk kecantikan). Namun akibat seringnya dua hal tersebut disandingkan, maka menimbulkan makna baru bahwa produk kecantikan yang diperlihatkan merupakan representasi dari kecantikan alami. Fenomena yang terjadi pada kebanyakan kaum perempuan ini menunjukkan bahwa makna yang sebelumnya tidak ada dapat diciptakan atau terbentuk dan kemudian dapat benar-benar dipercaya ada. Seperti yang Baudrillard katakan bahwa saat ini banyak tercipta apa yang disebut simulasi (simulacra), ruang pemaknaan dimana tanda-tanda saling terkait tanpa harus memiliki tautan logis.

Penutup

Kapitalisme yang awalnya diramalkan akan mengalami kehancurannya, ternyata tidak terbukti. Yang ada saat ini adalah semakin meluasnya kapitalisme ke seluruh bagian dunia. Kapitalisme memiliki kemampuan beradaptasi yang kuat seiring dengan perkembangan jaman. Wajah kapitalisme menjadi lebih halus dalam menyeret banyak orang. Hegemoni kapitalisme menyeret banyak orang tanpa paksaan, dan pada akhirnya membuat banyak orang menerima kultur kapitalisme yang ada. Di era industrialisasi, kapitalisme melihat kaum perempuan sebagai sasaran empuk.

Eksploitasi kapitalisme pada perempuan dilakukan lewat industrialisasi produk-produk kecantikan. Dan pada gilirannya, banyak kaum perempuan yang mengeksploitasi dirinya sendiri lewat penggunaan produk-produk kecantikan. Upaya kapitalisme menarik minat banyak kaum perempuan adalah lewat aparat-aparat kebudayaan seperti televisi, iklan, internet, dll. Masuknya nilai dan kultur dari luar, telah merubah makna cantik bagi banyak perempuan.
Hanya sedikit perempuan yang masih memegang teguh jargon beauty inside, dan yang lainnya lebih memilih beauty outside. Hal ini masuk ke dalam sosial budaya masyarakat dalam memaknai kecantikan perempuan. Dilain pihak, seorang perempuan menilai kecantikan dirinya dipengaruhi cara lingkungan sosial dan budaya yang berada di luar dirinya memaknai kata “cantik”. Maka tidak heran jika banyak perempuan yang berusaha menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan kata sosial dan budaya masyarakat tentang konsep cantik.

Selain itu, dengan banyaknya produk kecantikan yang mengkampanyekan kesan bahwa produk kecantikan adalah perlambang kecantikan yang alami, maka lembat laun terjadi hubungan antara kedua variabel tersebut. Karena selalu disandingkan bersamaan, pada tahap selanjutnya tejadi asosiasi keduanya dalam pola pemikiran masyarakat. Dan membuat produk kecantikan diartikan sebagai representasi kecantikan alami. Hal ini merupakan fenomena yang oleh Baudrillard disebut sebagai simulasi (simulacra), yaitu ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait tanpa harus memiliki tautan logis.

Pada kesimpulannya hegemoni kapitalisme masuk dan menjadikan kaum perempuan sebagai sasarannya lewat “penjualan mimpi” untuk menjadi cantik lewat industri kosmetik. Pada akhirnya pergeseran makna kecantikan yang menjadi akibatnya. Kapitalisme mengeksploitasi perempuan dengan mimpi menjadi cantik, dan perempuan mengeksploitasi diri dengan produk kecantikan untuk menjadi cantik. Banyak orang beranggapan bahwa menjadi cantik lewat produk kecantikan merupakan salah satu cara menjadi cantik yang bersifat KISS (Keep It Simple but Stupid), tapi salahkah perempuan yang mengeksploitasi diri mereka untuk menjadi cantik? Apalagi tidak dapat dipungkiri makna kecantikan yang ada dalam masyarakat sosial dan budaya dipengaruhi oleh ikon-ikon yang digunakan produk kecantikan dalam iklan.

by: Asteria Prayitno

0 komentar:

Posting Komentar