Senin, 31 Mei 2010

Universalisasi Sekolah bagi Pendidikan Kewargaan

Tulisan ini adalah sebentuk upaya guna meretas gagasan alternatif dalam rangka pencarian model baru yang akan kita timbang kelaikannya guna diproyeksikan sebagai model bagi penanggulangan fenomena mandeknya proses pendidikan formal yang sangat kita andalkan dalam proyek memperadabkan kesosialan kita yang disana-sini dan dari waktu ke waktu terlihat masih belum memberikan harapan yang membesarkan hati. Tulisan ini sendiri adalah tulisan pendek yang hanya akan menyajikan ringkasan gagasan alih-alih merupakan sebuah kompleks yang memuat komprehensi lagi rinci.

Keperluan sekaligus konteks dari ditulisnya hal ini adalah judgement the value atau semacam keperluan guna melakukan evaluasi atas kualitas fenomenologis dunia pendidikan formal kita yang tengah terserang virus ‘K2’, yang tidak hanya merusakkan bagian terluarnya, yakni praktek-prakteknya, melainkan juga telah menyusup dan mencemarkan aspek terdalamnya (UU dan cara berpikir). Virus ‘K2’ disini bolehlah selanjutnya kita sebut virus ‘kapitalisme’ yang muncul dalam bentuk ‘komodifikasi’ atas pendidikan.

Tragedi yang muncul seiring makin berkembangbiaknya virus ‘K2’ di dalam operating system kependidikan formal kita adalah terkuaknya fenomena patologi kolektif yang tercermin dari maraknya topik pemberitaan korupsi, kerusuhan, mafia hukum juga penurunan prosentase tingkat kelulusan ujian nasional, yang laku dan layak dan justru akan menjadi berita yang lebih buruk seandainya tidak ditempatkan sebagai headline di halaman muka pemberitaan media massa hari-hari belakangan ini.
Dalam tulisan ini patologi kolektif dinyatakan sebagai konsekuensi logis dari makin mulusnya penetrasi kapitalisme yang mengambil bentuk dengan menjadikan pendidikan formal sebagai komoditas bernilai ekonomis yang pada taraf tertentu telah mengorientasikan, memosisikan dan tidak lagi memandang pendidikan sebagai prasyarat bagi penyelenggaraan kehidupan bersama melainkan sekedar komoditi untuk keperluan pertukaran ekonomi yang disandera obsesi akumulasi modal. Sejak saat itu dan sebagai akibatnya, akses berpendidikan kini tidak lagi dipandang sebagai priviledge dari keanggotaan politik seseorang di dalam NKRI, melainkan cuma muncul dalam momen konsumsi yang menempatkan seseorang sebagai anggota dari pasar dan tidak lagi dipandang sebagai warga yang merupakan variabel konstitutif dari republik. Momen peralihan atribusi dari ‘warga’ ke ‘konsumen’ sekaligus menandai dilucutinya hak konstitusional warga beserta priviledge yang melekat padanya. Segera setelah proses reduksi itu menjelma maka martabat sebagai warga beserta hak istimewa yang melekat padanya sebagai konsekuensi konstitusional dari keanggotaannya secara politik di dalam republik kemudian raib digantikan dengan priviledge yang melekat dalam atribusi konsumen yang merupakan variabel kontitutif rezim pasar. Di titik ini priviledge atas akses tehadap kependidikan tidak lagi bergantung kepada atribut warga melainkan pada priviledge yang muncul dari kemampuan daya beli konsumen.

Ironis memang, mengingat keanggotaan politik seseorang hari-hari ini tidak lagi memiliki konsekuensi politis atas akses berpendidikan yang kita percayai akan menjadi mekanisme reproduksi dan latensi virtue atau kebajikan publik yang mewujud dalam sikap mental dan praksis yang menjunjung tingggi keutamaan publik. Lantas, masih mungkinkah disorientasi pendidikan formal ini kita navigasikan kembali ke lajurnya? Sebagaimana jejaknya bisa kita temui di dalam dokumen konstitusi yang melandasi keabsahan pandangan bahwa pendidikan adalah barang publik, dan dengan demikian berarti harus steril dari privatisasi dan komodifikasi atasnya. Jika memang mungkin, melalui apa? Hal ini masih mungkin dinavigasi ke lajurnya, melalui upaya reinventing yang simultan dengan proses internalisasi universalisasi sekolah, khususnya bagi pendidikan kewargaan.

Universalisasi sekolah adalah suatu aras pikir yang berusaha mengembalikan sekolah atau proses pendidikan ke lokus asalinya, yakni kedalam dinamika kehidupan kewargaan di dalam kehidupan keseharian itu sendiri. Terma ‘universalisasi’ sinonim dengan ‘mencakup semua’. Ringkasnya, pandangan kolektif akan pendidikan kewargaan yang baik kini tidak lagi dianggap hanya mungkin ditempuh ‘melalui’ dan hanya mungkin ‘terjadi’ di dalam momen proses pendidikan formal, yang kebetulan tengah terjangkit virus ‘K2’, melainkan juga mungkin dilakukan di berbagai medan, pada bermacam event, dan inheren di dalam totalitas proses sosial keseharian. Pendidikan kewargaan dalam terang pikir ini adalah gerak harian yang menjadikan proses sosial sebagai basis sekaligus medium utamanya. Mengapa demikian? Pertama, lebih dikarenakan di negara terbelakang seperti Indonesia –yang selalu kita bela martabatnya, pendidikan justru menjadi barang mewah yang mahal harganya walaupun dalam saat yang sama kualitasnya urung merefleksikan harganya yang setinggi langit, terutama bagi mereka yang tidak mampu, yang ironisnya secara prosentatif menempati bagian terbesar dalam landscape demografi sosial-ekonomi di negara ini.
Kedua, lebih karena rute ini pun memang pernah dan tetap ditempuh oleh negara-negara lain yang telah terlebih dulu mencapai kematangannya dengan mengakui dan menterapkan kepantasan skema pikir ini. Kita bisa menyebut Jerman dan Prancis sebagai contoh yang laik ditiru karena menerapkan model pendekatan pendidikan seperti ini sebagai komplemen fundamental atas kemajuannya secara sosial. Dengan demikian, koeksistensi kedua model ini menjadi legitimasi empiris bagi fundamental advanced societ,y dan dengan demikian pula akan menjadi fundamental transformasi ‘massa’ kedalam kewargaan kita yang memang tengah mengalami persoalan yang perlu kita benahi secara serius. Jika ini dirasa mungkin, lantas pertanyaan yang tersisa adalah melalui apa? Mengaktifkan institusi-institusi intelektual-kultural adalah tawaran yang diajukan sebagai solusi untuk diperiksa ulang, diteliti dan diuji validitas-reliabilitasnya. Institusi itu antara lain adalah keluarga, partai politik, bahkan dalam forum-forum diskusi dunia maya, untuk sekedar menyebut contoh. Lantas, siapa yang akan mengaktivasikannya?

Tugas ini sepenuhnya merupakan tugas negara. Tak ada kebaruan dalam tawaran ini seandainya kita gagal mencermati perubahan pada sistem politik era orba ke ideal sistem politik orde reformasi beserta konsekuensi yang mengiringi perubahan pada level gagasan ini. Dalam logika kekuasaan Orba yang otoritarian, kinerja negara demikian tergantung pada kinerja segelintir elit, yang dengan demikian baik tidaknya kinerja negara demikian tergantung kepada melempem atau tidaknya kinerja elit. Berbanding terbalik dengan logika otoritarian ini, ideal sistem politik orde reformasi menghendaki pemerintahan diselenggarakan secara kolektif/demokratis, oleh karena itu maka kinerja negara demikian tergantung pada baik atau tidaknya kinerja warga. Sejak saat ini kinerja negara demikian tergantung pada kinerja kolektif warga, demikian juga di bidang-bidang kepublikan lainnya. Dan dengan mendasarkan diri perubahan di atas, maka tatkala kita menyebut ‘tugas negara’ maka dalam saat yang sama pada dasarnya kita sedang menyebut ‘tugas kolektif warga’ untuk mengaktivasi kelembagaan kultural-intelektual di atas.

Tapi mana mungkin kita melakukannya dengan kualitas warga serupa kita miliki saat ini? Oleh karena itu merancang universalisasi sekolah kewargaan yang dibasiskan pada institusi kultural-intelektual di dalam proses sosial keseharian adalah agenda yang tidak hanya penting, namun lebih dari itu justru mencerminkan dan menentukkan kinerja negara demokratis. Akhirnya semoga tulisan singkat ini mampu mencirikan karakteristik unik dari warga republik yang mengedepankan keterlibatan argumentatif dalam menyoal maupun memecah problem-problem kewargaaan.

Oleh: Iwa Inzagi
(Kabiro Litbang LPW Citizens Institute dan Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi)

0 komentar:

Posting Komentar