Media adalah etalase sebuah bangsa. Muatan dan kemasan yang dihasilkan para pengelola media mencerminkan perilaku dan karakter masyarakat suatu negara. Watak dan perilaku masyarakat Indonesia, salah satu caranya dapat dilihat melalui muatan acara-acara di televisi. Muatan acara-acara di layar kaca televisi masyarakat Indonesia saat ini dipenuhi dengan sinetron, film-film lepas, berita gosip, dan pergunjingan serta acara talk show selebriti. Muatan film dan sinetron penuh dengan adegan kebohongan, intrik, mimpi kekayaan atau khayalan, dan mistik.
Sementara acara talk show dikemas dengan format cengengsan miskin ide pencerahan tetapi penuh dengan kebohongan, kepalsuan, hedonisme dan konsumerisme. Yang patut disayangkan, para pemirsanya pun senang dan menikmatinya. Buktinya acara-acara semacam itu terus diproduksi karena ratingnya terus meroket. Ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memang penikmat kepalsuan dan kebohongan.
Saat ini, ternyata media nasional baik media cetak maupun elektronik, khususnya televisi telah terjerembab dalam pusaran bisnis, kapitalisme dan liberalisme yang semakin lama semakin menghujam ke negeri ini. Dalih kebebasan pers justru malah menjeramah dan berpengaruh terhadap terhadap masuknya kapitalisme dan liberalisme ekonomi dan budaya ke media massa terutama televisi, yang perwujudannya semakin jauh dan mengabaikan dari unsur pendidikan. Kapitalisasi ekonomi dan budaya semakin mengesankan, bahwa semua acara atau pemuatan rubik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi.
Potret miring media di Indonesia sesungguhnya cermin dari kondisi sosial budaya masyarakat saat ini. Komersialisasi media menuntut persaingan pasar yang yang bebas. Kompetisi mengukuhkan sebuah industri penyiaran yang bisa menarik sebesar-besarnya perhatian publik.
Keseragaman yang Membodohi
Aktivitas akumulasi modal stasiun televisi seolah menjadikan sah memproduksi program yang membodohi masyarakat. Program TV yang seragam tidak hanya di sinetron tapi juga pada program reality show, berita kriminal, komedi, program hantu yang mulai berkurang dan tentu saja infotainment.
Homogenisasi terutama terjadi pada program hiburan. Dewasa ini media hidup dalam era liberalisasi industri di mana hidup matinya media lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu khaidah permintaan dan penawaran, akumulasi modal dan maksimalisasi produksi. Atas nama pasar, media akan menyajikan kepentingan dan perspektif yang saling sesuai dengan maksimalisasi produksi dan konsumsi.
Tidak ada satu stasiun televisi pun yang melayani segmen tertentu dalam masyarakat. Semua stasiun televisi menyajikan mata acara yang saling mirip satu sama lain. Tidak ada satu kharakter atau ciri khas yang menandakan suatu stasiun televisi. Kalau tiap logo stasiun televisi yang berada di kiri atau kanan atas ditutp, maka pemirsa tidak akan tahu stasiun mana yang sedang ia tonton.
Dengan situasi seperti ini, para pengelola stasiun TV harus berfikir keras untuk memenuhi tuntutan produksi. Mereka harus menyiapkan begitu banyak program untuk mengisi jam siaran. Salah satunya, dengan bekerja sama dengan rumah-rumah produksi. Maka dengan bekerja sama dengan rumah-rumah produksi baik yang memproduksi film-film serial maupun sinetron dapat memenuhi kebutukan produksi yang dibutuhkan masyarakat demi mencari rating yang tinggi.
Rating adalah mekanisme yang digunakan pengiklanan sebagai pedoman untuk memasang iklannya di media. Bagi media massa, rating digunakan untuk merancang programnya yang menarik perhatian pemirsa yang menjadi objek lembaga survey penghasil angka rating.
Sinetron Berselera Rendah (Idola Menjual Mimpi)
THE HABIBIE CENTER. No 69 / 15 Juli – 15 Agustus hal. 4 Lain lagi dengan acara idola-idolaan yang beberapa waktu belakangan lagi marak di berbagai media elektronik. Sebutlah acara Mama Mia, Indonesian Idol, Idola Cilik, Saatnya Jadi Idola, KDI, Dangdut Mania,Dangdut Dadakan, AFI Junior, Gerbang KDI, Supersoulmate Show, acara seperti ini tidak pernah absen berlomba di media elektronik. Jam tayangnya pun tidak satu dua jam tetapi berjam-jam, seperti tidak ada acara penting lainnya yang bisa diberikan kepada pemirsa.
Dengan banyaknya acara-acara semacam ini yang menyuguhi mata pemirsa, mengakibatkan mentalitas bangsa ini menjadi rendah. Pola pikir yang rendah, menghayal terlalu tinggi mengakibatkan ketergantungan semakin tinggi serta mematikan kreatifitas. Dalam analisis framing peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas yang dikehendaki.
Dengan adanya trend media yang demikian, di mana media masih dipengaruhi oleh kepentingan modal pasar, sehingga fungsi media yang sebenarnya sebagai ruang publik menjadi kabur atau bias. Media sekarang lebih mengutamakan kompetisi produksi acara-acara hiburan dengan rating yang tinggi untuk menggaet iklan sebanyak-banyaknya. Sungguh ironi melihat fakta bahwa media tidak lebih dari industri komersial bukan sebagai sarana ruang publik dan pembelajaran bagi masyarakat.
Bahasa
Dari segi bahasa, ada media yang menjaga betul bahasanya, ada juga yang seenaknya. Untuk hal penggunaan bahasa, alasannya untuk keperluan pasar, ada lapisan pasar yang memerlukan bahasa demikian. Padahal, sesuai dengan salah satu tugas media massa, yaitu pendidikan, media massa perlu menjadi pedoman bagi masyarakat untuk berbahasa.
Bahasa media, bahasa pers, tetap saja sebuah bahasa yang harus dipahami oleh masyarakat. Sebuah bahasa yang tidak boleh lepas dari masyarakat alias tidak boleh bahasa yang eksklusif.
Analisis dan Cara Menyelesaikan Masalah
Dengan berbagai masalah atau problem media saat ini yang menyinggapi tayangan-tayangan di layar kaca masyarakat, maka ada beberapa solusi untuk meminimalisir atau bahkan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam media penyiaran kita khususnya siaran-siaran televisi:
Pertama, Idealistik (ideal Solution), dalam ideal solution diukur dengan sejauh mana nilai-nilai ideal yang berlaku dalam masyarakat seperti: adat istiadat, agama, kepercayaan atau keyakinan, norma atau kebiasaan serta undang-undang yang berlaku.
Dalam hal undang-undang, pemerintah semestinya membuat undang undang yang tegas tentang media penyiaran. Selain undang-undang yang tegas, perlu adanya aktor-aktor lainnya seperti dioptimalisasikannya Lembaga Sensor Film (LSF) yang belakangan kinerjanya kurang mengigit.
Kedua, Ada keterlibatan pihak ketiga (seperti LSM, NGO dll), dalam hal ini media perlu ada kontrol dari pihak ketiga untuk mengevaluasi dan memberi teguran-teguran yang bersifat prefentif kepada stasiun-stasiun televisi.
Selain kedua hal tersebut, tayangan-tayangan acara yang ada dalam stasiun TV khususnya TV swasta, semestinya harus ada regulasi penyiaran baik dari stasiun TV, pemerintah maupun lembaga penyiaran
Penutup
Sudah sejak lama kita percaya bahwa media telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita. Dengan semakin majunya perkembangan teknologi komunikasi massa dan media massa dengan pesat, media bukan sekedar mengubah atau memperkuat opini, sikap dan perilaku, melainkan telah menjadi salah satu agen sosialisasi dalam menciptakan dan membentuk sikap, nilai, perilaku dan persepsi kita mengenai realitas sosial.
Media sebagai agen sosialsasi semestinya mampu menjadi sarana pembangunan kharakter bangsa. Tugas media adalah mendeteksi sejak dini perubahan dan menyampaikan kepada masyarakat. Media sebagai sarana transformasi dapat memberikan pendidikan kepada publik. Serta isi yang disampaikan harus dipilah-pilah sedemikian rupa, agar masyarakat tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang bisa merusak kepribadian bangsa.
(by: Solihin)
Sementara acara talk show dikemas dengan format cengengsan miskin ide pencerahan tetapi penuh dengan kebohongan, kepalsuan, hedonisme dan konsumerisme. Yang patut disayangkan, para pemirsanya pun senang dan menikmatinya. Buktinya acara-acara semacam itu terus diproduksi karena ratingnya terus meroket. Ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memang penikmat kepalsuan dan kebohongan.
Saat ini, ternyata media nasional baik media cetak maupun elektronik, khususnya televisi telah terjerembab dalam pusaran bisnis, kapitalisme dan liberalisme yang semakin lama semakin menghujam ke negeri ini. Dalih kebebasan pers justru malah menjeramah dan berpengaruh terhadap terhadap masuknya kapitalisme dan liberalisme ekonomi dan budaya ke media massa terutama televisi, yang perwujudannya semakin jauh dan mengabaikan dari unsur pendidikan. Kapitalisasi ekonomi dan budaya semakin mengesankan, bahwa semua acara atau pemuatan rubik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi.
Potret miring media di Indonesia sesungguhnya cermin dari kondisi sosial budaya masyarakat saat ini. Komersialisasi media menuntut persaingan pasar yang yang bebas. Kompetisi mengukuhkan sebuah industri penyiaran yang bisa menarik sebesar-besarnya perhatian publik.
Keseragaman yang Membodohi
Aktivitas akumulasi modal stasiun televisi seolah menjadikan sah memproduksi program yang membodohi masyarakat. Program TV yang seragam tidak hanya di sinetron tapi juga pada program reality show, berita kriminal, komedi, program hantu yang mulai berkurang dan tentu saja infotainment.
Homogenisasi terutama terjadi pada program hiburan. Dewasa ini media hidup dalam era liberalisasi industri di mana hidup matinya media lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu khaidah permintaan dan penawaran, akumulasi modal dan maksimalisasi produksi. Atas nama pasar, media akan menyajikan kepentingan dan perspektif yang saling sesuai dengan maksimalisasi produksi dan konsumsi.
Tidak ada satu stasiun televisi pun yang melayani segmen tertentu dalam masyarakat. Semua stasiun televisi menyajikan mata acara yang saling mirip satu sama lain. Tidak ada satu kharakter atau ciri khas yang menandakan suatu stasiun televisi. Kalau tiap logo stasiun televisi yang berada di kiri atau kanan atas ditutp, maka pemirsa tidak akan tahu stasiun mana yang sedang ia tonton.
Dengan situasi seperti ini, para pengelola stasiun TV harus berfikir keras untuk memenuhi tuntutan produksi. Mereka harus menyiapkan begitu banyak program untuk mengisi jam siaran. Salah satunya, dengan bekerja sama dengan rumah-rumah produksi. Maka dengan bekerja sama dengan rumah-rumah produksi baik yang memproduksi film-film serial maupun sinetron dapat memenuhi kebutukan produksi yang dibutuhkan masyarakat demi mencari rating yang tinggi.
Rating adalah mekanisme yang digunakan pengiklanan sebagai pedoman untuk memasang iklannya di media. Bagi media massa, rating digunakan untuk merancang programnya yang menarik perhatian pemirsa yang menjadi objek lembaga survey penghasil angka rating.
Sinetron Berselera Rendah (Idola Menjual Mimpi)
THE HABIBIE CENTER. No 69 / 15 Juli – 15 Agustus hal. 4 Lain lagi dengan acara idola-idolaan yang beberapa waktu belakangan lagi marak di berbagai media elektronik. Sebutlah acara Mama Mia, Indonesian Idol, Idola Cilik, Saatnya Jadi Idola, KDI, Dangdut Mania,Dangdut Dadakan, AFI Junior, Gerbang KDI, Supersoulmate Show, acara seperti ini tidak pernah absen berlomba di media elektronik. Jam tayangnya pun tidak satu dua jam tetapi berjam-jam, seperti tidak ada acara penting lainnya yang bisa diberikan kepada pemirsa.
Dengan banyaknya acara-acara semacam ini yang menyuguhi mata pemirsa, mengakibatkan mentalitas bangsa ini menjadi rendah. Pola pikir yang rendah, menghayal terlalu tinggi mengakibatkan ketergantungan semakin tinggi serta mematikan kreatifitas. Dalam analisis framing peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas yang dikehendaki.
Dengan adanya trend media yang demikian, di mana media masih dipengaruhi oleh kepentingan modal pasar, sehingga fungsi media yang sebenarnya sebagai ruang publik menjadi kabur atau bias. Media sekarang lebih mengutamakan kompetisi produksi acara-acara hiburan dengan rating yang tinggi untuk menggaet iklan sebanyak-banyaknya. Sungguh ironi melihat fakta bahwa media tidak lebih dari industri komersial bukan sebagai sarana ruang publik dan pembelajaran bagi masyarakat.
Bahasa
Dari segi bahasa, ada media yang menjaga betul bahasanya, ada juga yang seenaknya. Untuk hal penggunaan bahasa, alasannya untuk keperluan pasar, ada lapisan pasar yang memerlukan bahasa demikian. Padahal, sesuai dengan salah satu tugas media massa, yaitu pendidikan, media massa perlu menjadi pedoman bagi masyarakat untuk berbahasa.
Bahasa media, bahasa pers, tetap saja sebuah bahasa yang harus dipahami oleh masyarakat. Sebuah bahasa yang tidak boleh lepas dari masyarakat alias tidak boleh bahasa yang eksklusif.
Analisis dan Cara Menyelesaikan Masalah
Dengan berbagai masalah atau problem media saat ini yang menyinggapi tayangan-tayangan di layar kaca masyarakat, maka ada beberapa solusi untuk meminimalisir atau bahkan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam media penyiaran kita khususnya siaran-siaran televisi:
Pertama, Idealistik (ideal Solution), dalam ideal solution diukur dengan sejauh mana nilai-nilai ideal yang berlaku dalam masyarakat seperti: adat istiadat, agama, kepercayaan atau keyakinan, norma atau kebiasaan serta undang-undang yang berlaku.
Dalam hal undang-undang, pemerintah semestinya membuat undang undang yang tegas tentang media penyiaran. Selain undang-undang yang tegas, perlu adanya aktor-aktor lainnya seperti dioptimalisasikannya Lembaga Sensor Film (LSF) yang belakangan kinerjanya kurang mengigit.
Kedua, Ada keterlibatan pihak ketiga (seperti LSM, NGO dll), dalam hal ini media perlu ada kontrol dari pihak ketiga untuk mengevaluasi dan memberi teguran-teguran yang bersifat prefentif kepada stasiun-stasiun televisi.
Selain kedua hal tersebut, tayangan-tayangan acara yang ada dalam stasiun TV khususnya TV swasta, semestinya harus ada regulasi penyiaran baik dari stasiun TV, pemerintah maupun lembaga penyiaran
Penutup
Sudah sejak lama kita percaya bahwa media telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita. Dengan semakin majunya perkembangan teknologi komunikasi massa dan media massa dengan pesat, media bukan sekedar mengubah atau memperkuat opini, sikap dan perilaku, melainkan telah menjadi salah satu agen sosialisasi dalam menciptakan dan membentuk sikap, nilai, perilaku dan persepsi kita mengenai realitas sosial.
Media sebagai agen sosialsasi semestinya mampu menjadi sarana pembangunan kharakter bangsa. Tugas media adalah mendeteksi sejak dini perubahan dan menyampaikan kepada masyarakat. Media sebagai sarana transformasi dapat memberikan pendidikan kepada publik. Serta isi yang disampaikan harus dipilah-pilah sedemikian rupa, agar masyarakat tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang bisa merusak kepribadian bangsa.
(by: Solihin)
1 komentar:
menarik!!!
Posting Komentar