Rabu, 14 April 2010

Tragedi Priok Berdarah...

tak terasa sudah 12th berlalu sejak kejadian pelanggaran HAM berat yang terjadi di bulan Mei 1998, pada saat itu konflik yg terjadi bertujuan untuk "menggulingkan" singgasana pemerintahan yang disinyalir telah merugikan rakyat & bersifat diktator (otoriter). Tokoh sentral dalam konflik tersebut adalah mahasiswa-masyarakat tionghoa-aparat, tak terhitung berapa banyak korban jiwa & luka yang diakibatkan oleh peristiwa berdarah tersebut. Indonesia berduka atas terjadinya peristiwa ini...

kini, tepatnya 12 tahun kemudian...kasus pelanggaran HAM kategori berat terjadi kembali, kali ini disebabkan oleh penggusuran areal pemakaman Al Habib Hasan Muhammad Al Haddad yang lahir di Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1727 atau yang lebih dikenal dengan julukan "Mbah Priok". Beliau adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jakarta -khususnya wilayah Jakarta Utara-, tidak berlebihan kiranya apabila Mbah Priok ini mendapat tempat di hati para warga Indonesia (khususnya Jakarta) yang mayoritas beragama Islam. Yang menjadi tokoh sentral kali ini adalah masyarakat-Satpol PP.

Bentrokan Tanjung Priok terjadi saat Satpol PP akan menggusur bangunan-bangunan di Makam Mbah Priok pagi hari (14/4). Penggusuran ini ditentang warga. Akhirnya bentrokan pun tak bisa terhindarkan, bentrokan terus terjadi hingga sore. Suasana bentrokan tergolong anomie, hal ini bisa dilihat dari kebrutalan massa maupun aparat (Satpol PP)dalam berkonflik. saling lempar batu, merusak fasilitas publik bahkan membunuh menjadi hal yang wajar & tidak terpikirkan lagi konsekuensi hukumnya (& memang tidak akan pernah dipermasalahakan merunut dari makna harafiah anomie itu sendiri yaitu suasana dimana hukum, norma & nilai seolah tersembunyi ataupun hilang).

Anomie merupakan perspektif sosiologis yang berkaitan dengan pandangan disorganisasi sosial. Teori anomi mengatakan bahwa penyimpangan adalah hasil ketegangan-ketegangan sosial tertentu yang mendorong individu menjadi devian (menyimpang). Robert Merton (1930) mengatakan bahwa masyarakat industri modern menekankan pencapaian sukses materi dalam bentuk kemakmuran dan pendidikan sebagai tujuan untuk mencapai status. Sementara itu secara bersamaan membatasi akses atas suatu institutsi dari segmen masyarakat tertentu yg sebenarnya juga dapat memperolehnya secara sah. Segmen masyarakat yg dimaksud biasanya adalah masyarakat awam. Situasi anomi muncul ketika terjadi kesenjangan yg parah antara tujuan budaya dan cara-cara yg sah yg tersedia bagi kelompok tertentu di masyarakat guna mencapai tujuan tersebut.

Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Koja, Jakarta Utara...Pihak Pelindo yang disinyalir sebagai pemilik sah areal pemakaman Mbah Priok, berniat mengalokasikan makam Mbah Priok ke Tempat Pemakan Umum (TPU) Budhidarma, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. Dan menurut penjelasan dari pihak Pemprov DKI Jakarta, sebenarnya kerangka Habib Hasan sendiri sudah tidak di Tanjung Priok. Kerangka jasad Habib Hasan Al Haddad atau Mbah Priok telah dipindahkan pada tahun 1997 lalu bersamaan dengan 32 rangka lainnya yang ada di TPU Dobo dengan luas 53.054 M2. Jadi, pihak Pemprov DKI & Pelindo beranggapan bahwa penggusuran ini tidak menyalahi aturan. Namun tidak begitu dengan masyarakat sekitar, Mbah Priok yang telah dianggap sebagai tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Jakarta ini begitu dihormati oleh warga sekitar sehingga ketika penggusuran ini terjadi pada pagi hari (14/4)true collective consiousness yg terbentuk dalam diri mereka adalah mereka merasa perlu untuk mempertahankan areal pemakaman ini. Warga Koja merasa mendapat tekanan dari pihak aparat yg terus merangsek masuk areal pemakaman dengan tujuan untuk "menghancurkan" areal tesebut guna dijadikan Ruang Terbuka Hijau & Terminal Peti Kemas. Mereka (warga Koja) merasa memiliki hak untuk mempertahankan areal makam tersebut namun hak tersebut seolah tidak diindahkan oleh pihak aparat-Pemprov DKI-Pelindo...Begitu pun dengan Satpol PP, mereka juga merasa mendapatkan tekanan dari "pihak atas" untuk merelokasi areal tersebut sebagai bentuk tanggung jawab atas kinerja mereka.

Tekanan yang berbenturan inilah yg pada akhirnya menimbulkan suasana chaos dan anomie yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Alangkah baiknya apabila pemerintah sebagai pemegang kekuasaan bertindak sebagai mediator dalam kasus ini, pihak MUI sudah berupaya untuk menjadi penengah dalam kasus ini namun apabila pemerintah tidak turun tangan dan pihak media massa/elektronik terus menerus menayangkan tragedi kekerasan ini secara intens maka solusi tidak akan tercapai. Saya yakin, baik warga maupun Satpol PP hanya menjadi kambing hitam dari kepentingan "atasan". Semoga arwah para korban Tragedi Priok Berdarah (14/4) bisa diterima disisiNya amin...

(by: Ajeng Agrita D.W)

Selasa, 06 April 2010

MEDIA DAN KARAKTER BANGSA (Analisis Terhadap Tayangan-tayangan Televisi)

Pengantar
Media adalah etalase sebuah bangsa. Muatan dan kemasan yang dihasilkan para pengelola media mencerminkan perilaku dan karakter masyarakat suatu negara. Watak dan perilaku masyarakat Indonesia, salah satu caranya dapat dilihat melalui muatan acara-acara di televisi. Muatan acara-acara di layar kaca televisi masyarakat Indonesia saat ini dipenuhi dengan sinetron, film-film lepas, berita gosip, dan pergunjingan serta acara talk show selebriti. Muatan film dan sinetron penuh dengan adegan kebohongan, intrik, mimpi kekayaan atau khayalan, dan mistik.
Sementara acara talk show dikemas dengan format cengengsan miskin ide pencerahan tetapi penuh dengan kebohongan, kepalsuan, hedonisme dan konsumerisme. Yang patut disayangkan, para pemirsanya pun senang dan menikmatinya. Buktinya acara-acara semacam itu terus diproduksi karena ratingnya terus meroket. Ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memang penikmat kepalsuan dan kebohongan.
Saat ini, ternyata media nasional baik media cetak maupun elektronik, khususnya televisi telah terjerembab dalam pusaran bisnis, kapitalisme dan liberalisme yang semakin lama semakin menghujam ke negeri ini. Dalih kebebasan pers justru malah menjeramah dan berpengaruh terhadap terhadap masuknya kapitalisme dan liberalisme ekonomi dan budaya ke media massa terutama televisi, yang perwujudannya semakin jauh dan mengabaikan dari unsur pendidikan. Kapitalisasi ekonomi dan budaya semakin mengesankan, bahwa semua acara atau pemuatan rubik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi.
Potret miring media di Indonesia sesungguhnya cermin dari kondisi sosial budaya masyarakat saat ini. Komersialisasi media menuntut persaingan pasar yang yang bebas. Kompetisi mengukuhkan sebuah industri penyiaran yang bisa menarik sebesar-besarnya perhatian publik.

Keseragaman yang Membodohi
Aktivitas akumulasi modal stasiun televisi seolah menjadikan sah memproduksi program yang membodohi masyarakat. Program TV yang seragam tidak hanya di sinetron tapi juga pada program reality show, berita kriminal, komedi, program hantu yang mulai berkurang dan tentu saja infotainment.
Homogenisasi terutama terjadi pada program hiburan. Dewasa ini media hidup dalam era liberalisasi industri di mana hidup matinya media lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu khaidah permintaan dan penawaran, akumulasi modal dan maksimalisasi produksi. Atas nama pasar, media akan menyajikan kepentingan dan perspektif yang saling sesuai dengan maksimalisasi produksi dan konsumsi.
Tidak ada satu stasiun televisi pun yang melayani segmen tertentu dalam masyarakat. Semua stasiun televisi menyajikan mata acara yang saling mirip satu sama lain. Tidak ada satu kharakter atau ciri khas yang menandakan suatu stasiun televisi. Kalau tiap logo stasiun televisi yang berada di kiri atau kanan atas ditutp, maka pemirsa tidak akan tahu stasiun mana yang sedang ia tonton.
Dengan situasi seperti ini, para pengelola stasiun TV harus berfikir keras untuk memenuhi tuntutan produksi. Mereka harus menyiapkan begitu banyak program untuk mengisi jam siaran. Salah satunya, dengan bekerja sama dengan rumah-rumah produksi. Maka dengan bekerja sama dengan rumah-rumah produksi baik yang memproduksi film-film serial maupun sinetron dapat memenuhi kebutukan produksi yang dibutuhkan masyarakat demi mencari rating yang tinggi.
Rating adalah mekanisme yang digunakan pengiklanan sebagai pedoman untuk memasang iklannya di media. Bagi media massa, rating digunakan untuk merancang programnya yang menarik perhatian pemirsa yang menjadi objek lembaga survey penghasil angka rating.

Sinetron Berselera Rendah (Idola Menjual Mimpi)
THE HABIBIE CENTER. No 69 / 15 Juli – 15 Agustus hal. 4 Lain lagi dengan acara idola-idolaan yang beberapa waktu belakangan lagi marak di berbagai media elektronik. Sebutlah acara Mama Mia, Indonesian Idol, Idola Cilik, Saatnya Jadi Idola, KDI, Dangdut Mania,Dangdut Dadakan, AFI Junior, Gerbang KDI, Supersoulmate Show, acara seperti ini tidak pernah absen berlomba di media elektronik. Jam tayangnya pun tidak satu dua jam tetapi berjam-jam, seperti tidak ada acara penting lainnya yang bisa diberikan kepada pemirsa.
Dengan banyaknya acara-acara semacam ini yang menyuguhi mata pemirsa, mengakibatkan mentalitas bangsa ini menjadi rendah. Pola pikir yang rendah, menghayal terlalu tinggi mengakibatkan ketergantungan semakin tinggi serta mematikan kreatifitas. Dalam analisis framing peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas yang dikehendaki.
Dengan adanya trend media yang demikian, di mana media masih dipengaruhi oleh kepentingan modal pasar, sehingga fungsi media yang sebenarnya sebagai ruang publik menjadi kabur atau bias. Media sekarang lebih mengutamakan kompetisi produksi acara-acara hiburan dengan rating yang tinggi untuk menggaet iklan sebanyak-banyaknya. Sungguh ironi melihat fakta bahwa media tidak lebih dari industri komersial bukan sebagai sarana ruang publik dan pembelajaran bagi masyarakat.

Bahasa
Dari segi bahasa, ada media yang menjaga betul bahasanya, ada juga yang seenaknya. Untuk hal penggunaan bahasa, alasannya untuk keperluan pasar, ada lapisan pasar yang memerlukan bahasa demikian. Padahal, sesuai dengan salah satu tugas media massa, yaitu pendidikan, media massa perlu menjadi pedoman bagi masyarakat untuk berbahasa.
Bahasa media, bahasa pers, tetap saja sebuah bahasa yang harus dipahami oleh masyarakat. Sebuah bahasa yang tidak boleh lepas dari masyarakat alias tidak boleh bahasa yang eksklusif.

Analisis dan Cara Menyelesaikan Masalah
Dengan berbagai masalah atau problem media saat ini yang menyinggapi tayangan-tayangan di layar kaca masyarakat, maka ada beberapa solusi untuk meminimalisir atau bahkan menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam media penyiaran kita khususnya siaran-siaran televisi:
Pertama, Idealistik (ideal Solution), dalam ideal solution diukur dengan sejauh mana nilai-nilai ideal yang berlaku dalam masyarakat seperti: adat istiadat, agama, kepercayaan atau keyakinan, norma atau kebiasaan serta undang-undang yang berlaku.
Dalam hal undang-undang, pemerintah semestinya membuat undang undang yang tegas tentang media penyiaran. Selain undang-undang yang tegas, perlu adanya aktor-aktor lainnya seperti dioptimalisasikannya Lembaga Sensor Film (LSF) yang belakangan kinerjanya kurang mengigit.
Kedua, Ada keterlibatan pihak ketiga (seperti LSM, NGO dll), dalam hal ini media perlu ada kontrol dari pihak ketiga untuk mengevaluasi dan memberi teguran-teguran yang bersifat prefentif kepada stasiun-stasiun televisi.
Selain kedua hal tersebut, tayangan-tayangan acara yang ada dalam stasiun TV khususnya TV swasta, semestinya harus ada regulasi penyiaran baik dari stasiun TV, pemerintah maupun lembaga penyiaran

Penutup
Sudah sejak lama kita percaya bahwa media telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita. Dengan semakin majunya perkembangan teknologi komunikasi massa dan media massa dengan pesat, media bukan sekedar mengubah atau memperkuat opini, sikap dan perilaku, melainkan telah menjadi salah satu agen sosialisasi dalam menciptakan dan membentuk sikap, nilai, perilaku dan persepsi kita mengenai realitas sosial.
Media sebagai agen sosialsasi semestinya mampu menjadi sarana pembangunan kharakter bangsa. Tugas media adalah mendeteksi sejak dini perubahan dan menyampaikan kepada masyarakat. Media sebagai sarana transformasi dapat memberikan pendidikan kepada publik. Serta isi yang disampaikan harus dipilah-pilah sedemikian rupa, agar masyarakat tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang bisa merusak kepribadian bangsa.

(by: Solihin)

Minggu, 04 April 2010

Implikasi Nilai Sosial Budaya Terhadap Kesetaraan Gender

Kapitalisme sebagai dalang dari era modernisasi dan kemajuan di dunia ternyata memiliki prinsip atau pandangan yang menutup mata mengenai persoalan gender, kapitalisme tidak memperdulikan jenis kelamin para pelaku produksi, asalkan pelaku tersebut dapat memberikan laba yang cukup signifikan maka ia bisa survive di era per-kapitalisme-an ini. Namun sayang, kapitalisme seolah memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi kapitalisme tidak memandang gender sehingga seolah-olah kapitalisme mendukung sepenuhnya bagi kaum wanita untuk berpartisipasi aktif dalam kancah produksi tersebut. Tapi di sisi lain, kapitalisme seolah mendukung dominasi patriarki di dunia, Edwards, (dkk) menggambarkan situasi ini sebagai berikut:

“Men could work as wage-workers in factories and leave to their wives the essential reproductive activities that continued to be carried out in the home. While young single women could expect to work for several years at wage labor outside the home, most married women could not, for reproductive work itself required many hours of labor over most of a wife’s adult married life”.

Dari pandangan Edwards (dkk) tersebut, dapat kita lihat bahwa kapitalisme pada dasarnya hanya membutuhkan individu-individu yang berkompetisi secara kuat tanpa mengalami gangguan yang berarti. Hal ini merupakan prinsip awal kapitalisme yang konsisten berorientasi laba, kaum wanita memang tidak dihalangi untuk berpartisipasi aktif dalam kancah produksi namun kondisi biologis tubuh wanita serta kodrat yang tentunya memiliki perbedaan sangat besar dibandingkan dengan kaum pria. Hanya wanita-wanita yang mampu untuk memenuhi tuntutan yang diisyaratkan dan bertahan dalam persaingan saja yang dapat survive dalam kancah produksi ini. Tuntutan inilah yang pada akhirnya menimbulkan suatu degradasi moral dikalangan kaum wanita yang hidup di era globalisasi (perdagangan bebas) dan modern seperti saat ini. Salah satu bentuk modernisasi dalam aspek emansipasi ini adalah pensosialisasian makna dan pengertian gender serta feminis di berbagai kalangan sehingga menyebabkan perubahan mainstream wanita, kaum wanita sadar bahwa dirinya juga merupakan makhluk rasional yang mampu bersaing serta memberikan laba/kontribusi besar bagi dunia. Mainstream inilah yang semakin lama semakin bergeser seiring dengan modernisasi dan globalisasi dunia, kaum wanita tidak hanya berpikir bahwa dirinya mampu untuk bersaing melawan kaum pria saya namun sudah mulai mengarah pada pemikiran untuk “mengalahkan” kaum pria.

Mereka sadar bahwa kondisi biologis tubuh dan kodrat wanita sangat berbeda dengan pria, untuk itu banyak dari kaum wanita yang mulai mengalami pergeseran kodrat. Pada dasarnya kaum wanita menyadari bahwa kodrat dan kondisi biologis tidak dapat diubah, namun mereka percaya bahwa kodrat dapat diminimalisir dengan cara menghindarinya. Pemikiran inilah yang pada akhirnya mendorong bergesernya imej berumah tangga pada wanita, Bukti konkret yang terjadi adalah semakin banyaknya wanita yang menggugat cerai dimana pada era sebelumnya hanya kaum pria yang berhak untuk memutuskan ikatan suatu pernikahan. Bukti kedua adalah ‘penyepelean’ makna pernikahan yang menimbulkan penolakan untuk menikah pada wanita sebagai bentuk penghambaan diri terhadap kapitalisme.

Pada dasarnya, di era yang serba modern seperti sekarang ini tentu bukan hal yang aneh lagi ketika kita melihat suatu fenomena emansipasi yg coba diterapkan oleh para kaum wanita modern perkotaan. Mereka ingin berkontribusi aktif dalam kancah per-kapitalisme-an seperti kaum pria pada umumnya, namun ada yang salah dengan cara yg mereka terapkan guna mencapai tujuan tersebut. Kodrat memang tidak bisa dihilangkan tetapi dapat diminimalisir, hal inilah yg dilakukan oleh sebagian kaum wanita modern dunia (tidak terkecuali Indonesia). filosofi inilah yg akhirnya berimplikasi menjadi sebuah fenomena "ga perlu cowok untuk masuk surga" yg menyebabkan banyak dari kaum wanita saat ini memilih utk hidup selibat a.k.a tidak menikah. menurut saya ini cara hidup seperti ini merupakan suatu langkah radikal yg ditempuh oleh sebagian kaum wanita modern perkotaan demi mendapatkan eksistensi dalam kancah produksi.

KETIKA membincang keseteraan gender, kebanyakan orang cenderung berkiblat ke Barat. Padahal di belahan Timur dunia, banyak fenomena kesetaraan gender yang luput dari perhatian kita. Bahkan kiblat itu tak jauh di depan mata, yaitu perempuan Jawa. Perempuan Jawa sering dianggap tak berdaya. Padahal, mereka memikiki peran yang tak terperikan dalam kepemimpinan. ...

Hal itu tak hanya dijumpai dalam realitas masyarakat modern saat ini, tetapi jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam tradisi budaya Jawa, perempuan sering disebut kanca wingking, yang mempunyai makna negatif sebagai ketidakberdayaan. Tetapi mereka juga tertulis dalam tinta emas sejarah, baik di zaman Majapahit maupun Mataram.

Anehnya, selama ini masyarakat masih memandang perempuan Jawa dengan wajah ketertindasan. Kaum feminis umumnya melihat kultur Jawa tidak memberi ruang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Apabila melihat relasi kuasa, perempuan melayu (dalam konteks ini Asia Tenggara) tak terkecuali Jawa, terlihat bahwa kekuasaan bisa lahir dari ketakberdayaan. Hal ini sesuai dengan teori kontradiktif yang dipopulerkan Foucault: sesuatu bisa lahir dari hal-hal kontradiktif.

Kuasa Wanita
Dalam buku Kuasa Wanita Jawa, karya Ardhian Novianto dan Christina Handayani berdasarkan hasil riset yang dilakukannya di Gunungkidul (DIY), perempuan Jawa tak perlu menjadi maskulin untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi justru harus memanfaatkan watak feminisnya.

Kita bisa membuktikannya dengan melihat realitas terdekat, bahkan di rumah, dengan melihat sosok ibu yang merupakan repesentasi perempuan yang berperan nyata di area domestik sekaligus area publik. Banyak ibu yang berdagang di pasar atau membuka warung di rumah, yang menegaskan mereka telah berperan dalam kegiatan perekonomian, yang notabene berperan di area publik.Inilah yang dimaksud dengan diplomasi perempuan Jawa, yang mana perempuan dengan kekuatan akal, pikir, dan tenaganya dapat mencari solusi atas problem-problem yang ada. Sebuah pekerjaan yang berat memang, mengingat perempuan masih memiliki tugas menjaga anak dan ''mengabdi'' kepada suami.

Sebagai seorang ibu, perempuan Jawa bukanlah sosok yang ambisius untuk mendapatkan kedudukan publik tertentu. Melainkan ia memosisikan diri sebagai support untuk keberhasilan suami. Mengedepankan rasa dan bukan emosi dalam menyelesaikan masalah juga merupakan kelebihan yang belum tentu bisa dilakukan lelaki. Ini sekaligus menegaskan, perempuan punya kecerdasan dan bisa mengelola persoalan dengan pikiran dan rasa tersebut. Melihat berbagai alasan atas, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perempuan Jawa adalah perempuan yang mempunyai segenap kelebihan,dan karena itu harus dapat diapresiasi.
Bukankah demikian?

(by: Ajeng Agrita D.W)